17.7.13

Demografi Siaga

Akhirnya saya ditendang dari satu demografi oleh teman baik saya. Demografi apakah itu?

Demografi yang memungkinkan kami untuk siap pergi (survey) kapanpun diminta. Kami bersedia atas nama jalan-jalan gratis dan melengkapi roster provinsi yang sudah dijejakkan oleh kaki kami. Demografi di mana siap untuk bekerja berbasis proyek. Dibayar tak tentu kapan terserah klien. Siap dipanggil kapanpun, siap bekerja dari mana pun, siap menjawab dengan fasih tentang pekerjaan ketika ditanya. 

Pekerjaan yang seringkali dimulai dengan, "Mon, ada kerjaan ini nih.. Sekian bulan, bayarannya segini. Mau gak?" dan diakhiri dengan, "Mon, lo mau dibayar cash atau transfer?". Huakhahaha..

Sebut saja demografi ini adalah Demografi Siaga, memanfaatkan status mahasiswa (makanya gak lulus-lulus, walaupun akhirnya kami berdua berhasil salaman dengan Pak Akhmaloka di Sabuga, 12 Juli yang lalu :P). Kebetulan kami berdua, ketika masih di demografi yang sama, berdomisi di Bandung Raya, sehingga mudah bagi kami untuk koordinasi dan komunikasi langsung.

Namun, terutama sejak Desember 2012, saya mulai selingkuh dari demografi ini. Terbuai dengan mimpi Jakarta dan sampai akhirnya menetap agak lama di kota besar ini. Alhasil, H-1 wisuda (akhirnya) S2, saya ditendang dari Demografi Siaga. 

Tidak banyak pemuda yang berminat pada demografi ini. Alasan utama adalah ketidaknyamanannya. Pemasukan tidak jelas, kadang ada kadang tidak. Masa depan tidak bisa direncanakan dengan pasti. Harus siaga setiap saat. Tidak nyaman setiap saat. Bahkan kami sampai pada titik di mana sangat nyaman dengan ketidaknyamanan kami. Saya ingat bagaimana rasanya hidup dengan tabungan minus (ya bukan berarti sekarang jadi plus banget juga sih) dan tidak berpikir tentang rencana satu tahun ke depan. Apalagi rencana 5 tahun atau 10 tahun ke depan. Bisa dibilang, fase hidup saya saat itu adalah fase berkeliaran tanpa arah.

Tak berarti demografi ini tidak memiliki nilai positif. Keindahannya justru terletak di ketidaknyamanannya. Saya dipaksa untuk beradaptasi, terutama secara pikiran. Melihat berbagai hal dari berbagai sisi. Tidak secara parsial. Bahwa segala sesuatunya memiliki berbagai bagian yang penting yang menjadikannya utuh. Seperti tak bisa menyatakan gajah adalah gajah hanya karena memiliki belalai. 

Lalu, apa yang menyebabkan pada akhirnya saya hengkang ditendang dari demografi ini? 

Karena pada akhirnya pula, semua manusia butuh visi, membutuhkan masa depan, dan harus memilih prioritas. Tak bisa selalu hidup untuk hari ini, tapi juga harus mempersiapkan masa depan, dan meraih mimpi. Klisenya seperti itu. Praktisnya. Life is catching up. :)

Hmmmm... Kalau boleh sok keren, saya pun akan berkata, "Demografi Siaga tak lagi menantang." Hahaha.. Saatnya pindah dari zona nyaman (yang tidak nyaman itu) ke zona tidak nyaman lain (yang nampak nyaman tapi belum tentu senyaman yang terlihat) dan belajar dari situ.

Toh, konon manusia pada dasarnya adalah makhluk pembelajar yang tak pernah lulus dari Universitas Kehidupan sampai diwisuda oleh-Nya.

Teman baik saya bagaimana? Ah, biarkan saja ia, karena teman baik saya pun tak lama lagi juga akan hengkang dari Demografi Siaga dan bahkan hengkang (sesaat) dari negeri ini. Menghadapi ketidaknyamanannya yang baru di negeri orang. :)

Dipikir-pikir, mungkin tanpa sadar saya sudah merencanakan untuk hengkang karena tahu toh pada akhirnya teman baik saya ini akan pindah negeri. Saya tidak suka ditinggal, masih dan tidak akan pernah suka. Jadi, lebih baik saya hengkang duluan. Hahaha.. Manja!

Sip ah..

Salam, 

 ~ Mona Luthfina

2 comments: