19.7.12

Evolusi Bandung: Baleendah - Pasteur

Pernah naik angkot dari Baleendah ke Pasteur? Saya pernah.

Perjalanan Baleendah - Pasteur itu paling cepat naik mobil pribadi/taksi. Sekitar 30 menit. Tentunya lebih mahal. Naik angkot? 2 jam. :))

Ada berbagai macam jalan dan trayek angkot untuk rute ini, tapi yang paling mudah dan paling sedikit pergantian angkotnya adalah naik angkot Dayeuh Kolot - Kalapa, lalu Kalapa - Sukajadi, dan terakhir Sederhana - Cimindi. Dijamin sampai depan rumah Saya di Sukagalih. Lama aja.. 2 jam! :))

Naik angkot untuk saya selalu menarik. Saya berkenalan dengan angkot di Bandung sejak kelas 1 SD (rumah saya di Sukagalih, dekat Pasteur, SD saya di Sasakgantung, dekat Kebon Kalapa). Setiap hari selama 9 tahun (SMP saya SMPN 10 Bandung di sebelah terminal Kebon Kalapa. Hehehe..) saya mengambil trayek angkot yang sama. Mulai dari 500 perak sekali pergi sampai harga terakhir di kelas 3 SMP itu 3500 rupiah. Sekarang, 5000 rupiah (10 kali lipat dari 20 tahun yang lalu).

Ingin mengenal Bandung? Sesekali boleh dicoba rute angkot dari Baleendah - Pasteur. Sepanjang perjalanan seperti melihat film Evolusi Bandung dalam waktu 2 jam. Mulai dari Kabupaten Bandung, dimana orang-orang membuang sampah dengan nyamannya di trotoar jembatan. Daerah yang tidak terlihat wujud selokan atau got, sungai yang penuh dengan sampah (bukan berarti sungai di Kota Bandung sendiri bersih sih ya..), debu yang masya Allah tebalnya, pohon yang begitu sedikit dengan dedaunan berwarna cokelat. Bukan karena sedang meranggas, tapi karena tebalnya debu. 

Melewati jembatan tol, artinya masuk ke Kota Bandung. Siapapun yang menganggap Bandung itu kota yang cantik, nyaman, dan bersih, pastinya baru menyambangi Bandung Utara. Bandung bagian Selatan (yaitu bagian selatan dari rel kereta api yang membelah Kota Bandung) itu numpuk senumpuk-numpuknya. Semua tumplek di situ. Pertokoan, manusia, motor, mobil, kaki lima, angkot, manusia, gedung-gedung, sampah, rumah-rumah, manusia. Semua. Salah satu pemandangan yang membuat saya terkagum-kagum sekaligus tidak habis pikir adalah jemuran di pinggir Jalan Dewi Sartika, di depan Yogya Kepatihan (toko Yogya paling besar di Bandung), di tengah kota, di mana tak terlihat adanya perumahan, di mana cuma ada toko kecil, toko besar, dan gedung perkantoran. Jemuran di pinggir jalan. Sudah pasti cepat kering, terjamin tidak bersih (lha wong dilewatin ribuan kendaraan dalam sehari dengan asap knalpotnya yang tahu sendirilah). Satu angkot berekspresi sama. Bandung oh Bandung.. :))

Melewati rel kereta api, akan terasa perbedaannya. Bahkan penumpang angkot pun berubah karakternya. Dari yang semula banyak berbincang dalam Basa Sunda, sekarang banyak pakai Bahasa Indonesia. Mulai banyak yang tekun dengan Blackberry-nya. Penumpang yang asyik sendiri dengan gadget di pangkuannya. Angkotnya pun cenderung lebih bersih. Entah kenapa.. :))

Walaupun tidak bisa dikatakan juga kalau Bandung bagian Utara ini bersih dan teratur, namun jelas terasa lebih bersih dan teratur daripada saudaranya di bagian Selatan. Bangunan banyak yang cantik, jalan lebih bersih, trotoar lebih banyak yang ramah pejalan kaki (walau masih jauh dari nyaman untuk ukuran standar kenyamanan). Pohon lebih banyak, debu lebih sedikit. 

Kenapa ya?

Apa karena petinggi-petinggi Kota Bandung (dan Jawa Barat) bekerja dan tinggal di Bandung bagian Utara-kah? Atau karena 66 tahun yang lalu saat peristiwa Bandung Lautan Api yang terbakar hanya bagian Selatan? Atau karena orang kaya Bandung sebagian besar ada di bagian Utara?

Ah, entahlah.. Perjalanan Baleendah - Pasteur saja sudah cukup membuat saya sampai rumah ingin mandi dan tidur, haruskah berpikir tentang kenapa begini kenapa begitu di Kota Bandung? :))

~ Mona Luthfina

1 comment:

  1. ini pasti sindrom mau nulis thesis tapi gak tau apa yang mau ditulis >:)

    ReplyDelete