22.10.10

Mahasiswi S2 Teknik Perminyakan

Sebagian besar anak ITB dulu ketika kuliah akan menjawab hal yang sama jika ditanya, "Setelah lulus, rencananya apa?"

"Cari kerja, abis itu cari beasiswa S2 keluar negeri, menikah, dan bikin sekolah."

Sebagian besar ya, bukan semua. Mainstream-nya sih seperti itu.

Sejalan dengan waktu, setahun, dua tahun, 3 tahun lulus, mulai terlihat pemenuhan rencana itu. Tidak semua langsung bekerja, tidak semua mendapat beasiswa keluar negeri, dan tidak semua jadi membuat sekolah. Realita menyapa dan prioritas-prioritas otomatis langsung tertata. Ternyata tidak semua rencana itu mudah untuk diaplikasikan. Toh, jawaban di atas sebenarnya juga tidak cocok untuk semua orang. "Too Good To Be True Answer" atau "Too Unrealistic Dreams"? Hehehe..

Saya? Saya juga menjawab hal yang sama. Kerja, cari beasiswa, S2, menikah, bahagia.

Alhamdulillah, saya bisa langsung kerja. Rencana 1: Berhasil! Walaupun tempat kerja saya aneh, tapi toh saya bekerja juga. Bahkan beruntungnya saya, bisa jalan-jalan keliling Indonesia.

Lalu saya berpikir tentang prioritas saya. 

Rencana 2: Cari beasiswa S2 di luar negeri. (Saya mau cerita tentang ini di postingan ini). Hmmmmm...

Saya berpikir entah berapa banyak kali untuk rencana ini. Yang jelas, banyak! Kenapa saya harus S2? Apa memang untuk menambah pengetahuan harus dengan S2? Belum lagi, susah sekali dapat beasiswa keluar negeri, dsb, dsb. Banyak hal yang membuat saya mempertimbangkan apakah saya akan sekolah lagi atau tidak. Allah punya rencana agak berbeda ternyata. Saya diberi kesempatan sekolah lagi di almamater yang sama (ITB.. ITB.. ITB..) dibayar oleh kantor. 

Pertamanya saya punya 4 pilihan program studi: Studi Pembangunan, Ekonomi Mineral, Manajemen Transportasi, dan Ekonomi Migas. Ekonomi Mineral sudah diambil sama Atiek, teman sekantor juga. Toh saya gak tertarik juga. Studi Pembangunan, menarik. Cuma entah mengapa tidak saya pilih. Saya sangat tertarik dengan Manajemen Transportasi. Sangat sangat tertarik. Cuma, kata bos saya, sudah banyak master di bidang ini, untuk apa menambah satu lagi padahal kenyataannya manajemen transportasi di Indonesia masih begitu-begitu saja. (Agak sedikit menyesal dengan pertimbangan ini). 

Tersisalah.. Ekonomi Migas. Program studi ini ditawarkan oleh bos saya. Pernah menjadi program studi yang menarik buat saya. Tapi selintas. Salah satu teman baik saya juga mengambil prodi ini di Jakarta. Lalu apa yang membuat saya mengambil program ini pada akhirnya? Entahlah.. Huakhahahaha... Saya berpikir bolak-balik, bertanya sana-sini, berpikir lagi bolak-balik, bertanya lagi sana-sini. Tanpa tahu masa depan seperti apa yang menunggu jika saya mengambil program ini. Bismillahirrahmanirrahiim. Saya memilih prodi ini.

Sekarang, setengah semester sudah berlalu. Bagaimana? Apa kabar Mona?

LIKE HELL!!!!! Huakhahahahahahahahaha.... 

Ternyata tak dinyana, untuk bisa menjadi master di bidang Ekonomi Migas, kita harus mengambil program Teknik Perminyakan dan melewati semester pertama dengan 4 mata kuliah wajib, yaitu: Sistem Reservoir, Teknik Pemboran dan Komplesi, Teknik Produksi, dan Manajemen Migas. 3 kuliah pertama membuat saya kelabakan. Anak TI mana belajar tentang pemboran, dsb, dsb. Saya pun tak pernah bekerja di bidang minyak dan gas. Mungkin saya satu-satunya yang ambil Teknik Perminyakan tanpa ada background perminyakan. Hehehe.. Banyak masa rasanya ingin berhenti atau menyesal atau memaki teman saya karena membuat saya jatuh di bidang ini. Banyak saat ingin menangis dan mengutuki diri sendiri dengan mengambil pilihan ini. Hell yeah!!

Banyak momen bertanya, "Kenapaaaa?!?!?"

Tapi.. seperti seharusnya layaknya manusia dewasa. Saya terpaksa berpikir, pilihan sudah diambil. Bukan pilihan teman saya, bukan pilihan bos saya, bukan pilihan orang tua saya. Semua saya. Jika harus mengutuki atau memaki, saya yang harus kena. Bukan teman saya, bukan bos saya, dan bukan pula orang tua saya. Menanamkan ini di pikiran saya, saya melangkah dengan pelan. Mungkin saya merasa di neraka karena saya antipati dengan kuliahnya. Menutup diri terhadap hal yang baru. Oh, itu sama sekali bukan Mona yang biasanya. Membuka diri lagi, belajar lagi dengan berlari, mengejar yang lain. Pelan-pelan, saya mulai mengerti kuliah ini. Walau masih banyak yang harus dikejar. Run, Mona! Run!!

Melangkah lagi ke depan dengan pelan. Ternyata teman-teman saya yang sedang ambil S2 di berbagai jurusan dan berbagai negara juga pasti mengalami fase ini. Fase dimana mempertanyakan, "Apakah pilihan yang saya ambil ini adalah pilihan yang benar?" dan sepertinya mereka baik-baik saja sampai saat ini. Jadi saya yakin saya akan baik-baik saja.

Langkah saya mulai pasti. Pada satu kuliah, saking tidak mengertinya dengan kuliah saya SMS teman saya yang juga ambil prodi yang sama, "Tell me next semester is better, please!!" dan dia menjawab, "Tenang aja, Mon. Next semester betterlah.." dan saya tahu, kalau semua akan baik-baik saja.

Masih berjuang, mencoba berlari dengan kencang, walau sering tertinggal, tapi seperti biasa, saya tahu kalau saya juga akan melewati fase kehidupan saya yang ini dengan baik-baik saya. Things do work out anyway :D

Untuk semua yang sedang mengalami fase kehidupan yang sama, S2, terutama yang sedang menuntut ilmu di luar negeri. Semangaaaatt!!!!!! Semoga kita bisa menjalani pilihan kita ini dengan menyenangkan. Amiin...

~ Mona Luthfina

P.S. Untuk fase kehidupan yang ini, sangat sangat banyak berterima kasih pada Bisri, si orang yang (secara tidak langsung dan tidak dia sadari) menjerumuskan saya tapi sekaligus menenangkan saya.
P.P.S. Ya ampuuunn.. baru setengah semester, Mon!!! Hahaha..

21.10.10

Setiap Hari Hujan di Bandung

Setahun ini saya perhatikan dan saya rasakan, Bandung hampir setiap hari hujan. Hujan di Bandung memiliki polanya sendiri. Pagi cerah, bahkan kadang panas terik. Langit biru, awan putih, matahari bersinar indah. Agak siang, masih cerah. Jam 12-an, mulai mendung. Mendung itu lama-lama akan semakin tebal dan di jam 3 sore, hujan turun non stop sampai malam. Berhenti sesekali cuma untuk memberikan kesempatan manusia berpindah tempat. Pola ini berlangsung setiap hari, kecuali jika ada event-event penting semisal Pasar Seni (Bandung hari itu luar biasa penuh, puanaaasss, crowded, stuffy, macet dimana-mana, gak nyaman sih intinya), Bandung Blossom (tapi pas Bandung Blossom kemarin juga hujan kok).

Hujan berpola ini ada enaknya ada juga gak enaknya. Kita jadi bisa mengatur jadwal. Tidak melakukan kegiatan outdoor di sore hari misalnya. Sedia payung setiap hari. Tidak berusaha heroik meninggalkan payung di rumah karena berasumsi kemarin sudah hujan deras hari ini tidak akan hujan lagi (true story.. haha). Semua kostum musim hujan bisa keluar, sweater, jaket, baju-baju tebal, monggo digilir. Tapi jangan berharap cucian cepat kering, mengingat setiap hari harus mencuci karena baju basah, dan matahari cuma bertugas di pagi hari. 

Saya, personally, suka hujan. Mendinginkan hati, menenangkan pikiran. Masalahnya, Bandung bukan kota yang ramah hujan. Saluran air yang sempit, sampah di mana-mana, trotoar yang tidak manusiawi, jalanan yang rusak, seperti menjadi faktor akselerasi menderitanya warga Bandung (tak berkendaraan) saat hujan. Huakhahahahaha.. 

Saya berdoa, suatu saat (dan semoga saat itu lebih cepat datangnya) dimana Kota Bandung menjadi kota yang rapi, nyaman untuk penduduknya. Memudahkan warganya, baik itu dari tata kota, sistem transportasi, fasilitas penunjang seperti taman, halte bis, sistem kendaraan umum yang rapi, dsb. Banyak hal dan ide yang terpikir di otak saya untuk Bandung. Cuma, kepada siapa ya saya mau kasih idenya? Ah, jadi terpikir satu hal lagi.. sarana untuk memberikan saran maupun kritik bagi pemerintah secara langsung. Langsung disini maksudnya langsung dibaca sama Bapak/Ibu (siapa tahu nanti walikotanya wanita) Walikota dan bisa diterapkan. Semoga juga masyarakat Bandung tidak hanya menjadi kritikus-kritikus tanpa solusi, tapi juga jadi warga kreatif yang selalu memunculkan ide baru untuk membuat Bandung menjadi lebih baik lagi. 

Hmmm.. Pak Walikota pernah gak ya jalan kaki di jalanan Kota Bandung saat hujan deras? 

Kapan ya Bandung menjadi kota yang memudahkan penduduknya?

Tapi saya tetap cinta kota ini dengan berbagai macam lebih kurangnya. Tentang ini saya bahas lain kali. Hehehe..

~ Mona Luthfina

20.10.10

Dua Rencana

Saya punya dua rencana berpergian tahun depan. Walaupun saya tidak tahu bagaimana saya akan mewujudkan rencana tersebut. Dua rencana itu adalah:

1. Umrah
Dulu, sampai SMA dan kuliah, saya masih tinggal dengan kedua orang tua saya. Shubuh tak bangun bisa diseret ke kamar mandi. Minimal diguyur di kasur. Huakhahaha... Ada alarm alami yang selalu mengingatkan saya untuk beribadah. Kebetulan di kampus pun teman-teman saya rajin shalat. Lingkungan sangat mendukung dan mendekati saya untuk terus beribadah. Saat ini, saya yang harus mendatangi lingkungan tersebut. Paling tidak membangun lingkungan yang kondusif untuk saya pribadi. Saya tidak tahu kenapa saya cerita hal ini. Sekalian curhat mungkin. Tapi sepertinya ini menjadi salah satu alasan tanpa sadar mengapa saya ingin umrah.

Saya ingat, waktu berjalan begitu lambat sekaligus begitu cepatnya di tanah suci. Waktu berhenti begitu saja. Namun, saat kembali ke rutinitas semula, tak terasa waktu berlalu begitu cepatnya. Saya ingin kembali lagi ke sana untuk alasan yang tidak bisa saya jelaskan secara gamblang. Mungkin untuk menikmati saat-saat dimana saya bisa merasa waktu berhenti dan saya tidak perlu khawatir tentang dunia bernama rutinitas yang saya miliki.

Rencana: Sekitar April 2011

2. Korea Selatan
Ok, saya termasuk dari ratusan ribu orang yang terkena Korean Wave. Hahaha.. Pada awalnya berasal dari drama dan musiknya. Tak lama kemudian merembet ke masyarakat, budaya, dan negaranya. Dulu, sekitar 70 tahunan yang lalu, Korea Selatan adalah salah satu negara termiskin di Asia. Dalam waktu kurang dari seabad, sudah menjadi negara maju. Banyaklah indikatornya, saya tidak akan membahas ini lebih detail di post ini. 

Saya pernah lihat salah satu episode Megacities di National Geographic Channel. Megacities: Seoul. Dari episode itu, asumsi saya, Seoul tahun 1970-an sama dengan Jakarta saat ini. Jelas, Kota Jakarta bisa belajar banyak dari Kota Seoul. Ini alasan utama kenapa saya ingin ke Seoul. Untuk mengembangkan diri, kita harus melihat yang lebih maju. Untuk selalu bersyukur, kita harus mau melihat dengan jelas sekitar kita. 

Rencana: Pertengahan September 2011 (seminggu setelah lebaran)

Dua rencana di atas, alasannya tidak mudah dijelaskan. Saya juga tidak tahu caranya bagaimana (dalam hal perencanaan keuangan) atau dengan siapa saya akan berangkat atau apa yang harus saya lakukan dengan kondisi saya saat ini (banyak faktor, kuliah, kerja, hidup, dsb, dsb). Saya tulis di sini mungkin karena saya butuh paling tidak satu hal yang membuat saya bertahan untuk bermimpi, berencana, dan berpikir untuk mewujudkan rencana itu. 

Berdoa semoga diberi petunjuk bagaimana cara mewujudkannya. Amiin..

~ Mona Luthfina

P.S. Menyadari satu hal di akhir postingan ini.. Apa jangan-jangan alasan utama saya memiliki kedua rencana itu adalah untuk kabur dari dunia nyata saya? Hmmmm... Satu lagi hal yang masuk daftar pikiran.