30.9.08

Haji, Bude, Hanna, dan Nasehat Pernikahan

And a day less or more
At sea or ashore,
We die—does it matter when?

~ Alfred Tennyson (1809 - 1892). British poet.
Aku punya seorang Pakde yang kupanggil Pakde Maftuh. Ada empat hal yang identik dengan Pakdeku ini, Haji, Bude [Bude Farid], Hanna, dan Nasehat Pernikahan.

Sepanjang ingatanku, Pakde ini selalu berurusan dengan yang namanya HAJI. Mulai dari pernah jadi atase Haji di Jeddah, sampai tiap tahun pergi haji karena menjadi pembimbing haji. Alhamdulillah, aku sempat haji bareng Pakde tahun yang lalu [2007], walaupun beda tour, tapi kan tetep bareng. Hehehe..

Suatu sore di pelataran Masjidil Haram, Mekkah..

Aku : "Pakde mau kemana?"
Pakde Maftuh : "Mau nganter Bude ke hotelnya"

Padahal saat itu jarak antara hotelnya Pakde dan hotel Bude lumayan jauh dan di pelataran Masjidil Haram sedang penuh-penuhnya, karena hampir Maghrib.

Ingatan di sore itu seperti selalu terngiang-ngiang selama seminggu ini. Ingatanku tentang Pakdeku yang satu ini memang tidaklah banyak, selain pada saat lebaran, pernikahan, kumpul keluarga, dan tentunya haji yang lalu. Aku selalu berpikir bapak-bapak berkumis itu galak, dan dulu pun aku berpikir begitu tentang Pakde. Tapi, entah sejak kapan, ternyata Pakde tidak galak seperti yang aku pikir. Bahkan Pakde itu lucu dengan caranya sendiri, hehehe. Satu lagi yang aku temukan di tahun terakhir ini adalah Pakde dan Bude itu pasangan yang romantis, saling membutuhkan dan saling membutuhkan. Keduanya saling memberi dan menerima.

Pakde juga adalah seorang YangKung. YangKungnya Hanna [anak Mbak Lia], si kecil yang cerdas, lucu, dan jahil. Hehehe.. Sebagai cucu pertama, Hanna adalah bintangnya Pakde. Sejak lahir, Hanna dan YangKungnya ini begitu akrab sampai-sampai Hanna bisa bau tangan karena Pakde. Bau tangan? Jadi, setiap habis menyusu, Pakde itu selalu siap menggendong Hanna kecil yang sedang tidur, sampai bangun lagi. Cucu kesayangan, cucu satu-satunya.

Satu lagi yang [aku pikir] identik dengan Pakde adalah, nasehat pernikahan. Hehehe.. Kenapa? Karena di keluarga kami, di hampir setiap pernikahan, Pakde adalah pemberi nasehat pernikahan. Setiap nasehat berbeda untuk setiap pengantin, dan semuanya bagus dan selalu bisa membuatku merenung. Weisss.. Bahkan aku pun sudah membayangkan bahwa pada saat aku menikah, yang memberikan nasehat pernikahan adalah Pakde.

Tapi ternyata hal itu tidak mungkin terjadi.. Karena hari Selasa yang lalu, Pakde yang kami sayangi ini, dipanggil oleh Allah. Diiringi oleh do'a dari ribuan orang.

Sejak April tahun ini, ternyata Pakde terkena kanker dan sudah stadium empat. Bulan Ramadhan ini kondisinya semakin parah. Badannya mengurus dengan drastis, sangat berbeda. Pakde yang kukenal adalah orang yang sangat tegap, punya style yang bagus, dan gagah. Melihat Pakde ketika sakit seperti melihat orang lain. Sedih.

Bandung, 30 Ramadhan 1429 H/30 September 2008

Hari terakhir shaum tahun ini. Jam 2.11 WIB. Waktu sahur sebentar lagi datang. Handphone-ku berbunyi..

Bapak calling..

Bapak : Mona, Pakde meninggal barusan.
Aku : Innalillahi wa inna ilaihi raaji'un.

Hari terakhir shaum tahun ini. Pakde dipanggil Allah dengan sangat tenang. Meninggalkan Bude, keempat anaknya, Mbak Diah, Mas Hilman, Mbak Lia, dan Mbak Milla, menantunya, Mas Daris, dan tentu cucu kesayangan dan satu-satunya Hanna Aya Fathina. Meninggalkan adik-adiknya, keponakan-keponakannya [termasuk aku], kerabatnya, sahabat, teman, rekan kerja, dan umat muslim di Indonesia pastinya.

Hari terakhir shaum tahun ini. Pakde dipanggil Allah seperti orang yang sedang tidur. Wajahnya kembali ke wajah Pakde yang selalu kuingat, tegap dan gagah. Dimakamkan dengan taburan bunga yang menggunung dan diiringi oleh do'a dari ribuan orang.

Pakdeku adalah orang yang baik. Terlihat dari begitu banyaknya orang yang datang di hari pemakamannya. Terlihat dari begitu banyaknya orang yang mendo'akannya. Terlihat dari keikhlasan keluarga yang ditinggalkannya. Mereka melepas Pakde dengan sangat ikhlas dan senyum, karena melihat Pakde yang nampak seperti hanya terlelap setelah perjalanan hidup yang panjang. Meninggal dalam keadaan ihsan.

Tidak ada lagi Pakde yang pergi membimbing jama'ah haji, tidak ada lagi Pakde yang sangat membutuhkan Bude, tidak ada lagi YangKung yang selalu bermain dengan Hanna, dan tidak ada lagi Pakde yang memberikan nasehat pernikahan pada keponakan-keponakannya.

Teringat salah satu percakapan antara aku dan Pakde setahun yang lalu..

Aku : Pakde, kalau sekarang kan ada Pakde dan Mbah-Mbah yang bisa ditanya dan
membimbing dalam hal agama. Trus, nanti yang nerusin siapa dong? Yang bisa
ditanya-tanya siapa dong?
Pakde : Ya Mona dong...
Aku : Tapi kan aku gak kayak Pakde dan Mbah-Mbah yang bahkan bisa bahasa Arab dan ngerti banyak soal agama..
Pakde : Makanya, harus belajar dong..Kalau bukan kalian, siapa lagi?
Aku : Iya juga sih..

Dalam setahun ini, sudah dua orang pemimpin keluarga kami yang dipanggil Allah, Mbah Makhrus dan Pakde. Akhirnya percakapanku dengan Pakde setahun yang lalu terjadi. Sudah saatnya kami [generasiku] bersiap dan siap untuk menjadi pemimpin keluarga. Membimbing generasi selanjutnya untuk selalu berada di jalan Allah.

Aku? Saat ini di mana aku? Di sini seperti biasa, berusaha untuk menjadi adik yang kuat dan tegar bagi kakak-kakakku yang kusayang. Berusaha untuk tetap tersenyum dan membuat mereka tersenyum walaupun harus menjadi konyol dan antik. Hehehe..

Dan akhirnya... Daaahhh Pakde K.H. Maftuh Ikhsan bin K.H. Ikhsan, salam buat mbah kung, mbah putri, dan om Edin yaa.. Kami akan baik-baik saja kok.. It takes time, but we're definitely gonna be ok.. Insya Allah..

Death is the privilege of human nature,
And life without it were not worth
our taking.

~ Nicholas Rowe (1674 - 1718). English playwright and poet.

No comments:

Post a Comment