25.8.11

Sesatnya Tinggal Sendiri

Saya harus menulis ini. Lebih karena di dekat saya tidak ada orang yang bisa saya jadikan samsak kefrustasian saya dan saya akan menggila jika tidak menemukan samsak secepatnya. 

Saya benci hidup dan tinggal sendiri. Tinggal sendiri itu sangat menyesatkan.. Sangat sangat menyesatkan.. Sangat tidak direkomendasikan untuk siapapun. Semandiri apapun seseorang, menghabiskan waktu lebih banyak sendiri itu cepat atau lambat akan membuat gila. 

Terutama jika tinggal sendiri di rumah besar, dimana rata-rata rumah tetangga pun kosong. Ditambah kalau jadwal bertemu orang hanya jika kuliah atau ada urusan mendadak (tidak ada jadwal rutin yang harus dilaksanakan seperti bekerja dari jam 7 - 9 malam misalnya). Benar-benar tidak bertemu manusia. Bertemu pun, di dunia maya. Bersahabat pun dengan laptop dan internet. Teman mengobrol pun cuma kura-kura tua penyendiri yang bahkan tidak bisa membalas semua perkataan (atau sebenarnya dia mengerti dan membalas tapi sayanya aja yang tidak mengerti maksud dia). 

Bias, semua menjadi bias. Benar salah menjadi bias, rasa terhadap waktu menjadi bias, tanggung jawab menjadi bias, bahkan terhadap diri sendiri. Keimanan pun tanpa sadar menjadi bias. Pada saat ini, semua nilai hidup yang diajarkan sejak kecil benar-benar diuji dan dicoba. 

Beratus-ratus kali sudah saya membuka dan menutup gordin rumah, mematikan dan menyalakan lampu, dan beraktivitas di lokasi yang tidak kemana-mana. Berharap ada orang untuk menampar dan berkata, "What are you doing to your life?!?!?" sayangnya tidak ada yang datang.

See, living alone is crazy and definitely will make someone go crazy just what it does to me now.

Pada saat inilah, dimana keluarga, sahabat, dan manusia adalah berkah yang harus selalu disyukuri. Bahkan kerja lembur pulang pagi pun harus disyukuri. Semua pertemuan konyol pun harus disyukuri. Pertengkaran harus disyukuri. Berbincang langsung dengan manusia lain sedangkal apapun topiknya harus disyukuri. Kompetisi sesengit apapun harus disyukuri. Semua jenis interaksi dengan manusia lain, sepahit apapun itu adalah berkah dan harus disyukuri karena pada saat itulah, kita benar-benar hidup.  

Manusia diciptakan sebagai manusia sosial benar adanya. Saat seseorang menarik diri ke sudut dan berlagak sok mandiri, saat itulah dia menggali kuburannya sendiri. 

Dicari: Manusia. Manusia di dunia nyata bukan di dunia maya. Bukan pencuri, bukan perampok, bukan orang jahat. Manusia saja. Hanya manusia.

Kali ini nampaknya saya diuji dalam Hablumminannas yang akhirnya berdampak ke Hablumminallah. Baru sekarang saya bisa merasakan makna dibalik Hablumminannas itu.

Merapal, "Apa yang harus saya lakukan?" berkali-kali. 

Sudahlah.

~ Mona Luthfina

P.S. Membaca ulang dan menyadari nampaknya saya sedang marah. Apapunlah.. 

21.8.11

Saya Suka Bahasa

Saya suka bahasa. Bahasa Indonesia terutama. Karena bahasa ini begitu indah didengar, indah dibaca, indah ditulis, dan indah dilisankan. Asal diperlakukan dengan benar.

Saya menikmati bahasa terutama lewat tulisan. Saya suka membaca buku-buku yang ditulis dengan indah. Menggunakan bahasa yang mengalir. Kosa kata yang dipakai cukup, tidak berlebihan, dan tidak rumit. Eksotis dengan caranya sendiri. Saya suka membaca tulisan yang ditulis dengan benar. Saya juga suka dengan tulisan yang cerdas. Tulisan yang berani menggunakan kata dengan adil, menggunakan kata sesuai maknanya. Cukup, tidak berlebihan, dan tidak rumit. Penggunaan banyak kata yang rumit dan "wah" tidak menjadikan suatu tulisan menjadi nikmat untuk dibaca.

Bapak saya dulu memaksakan hobi membacanya pada kedua anaknya. Alhamdulillah untuk itu. Sehingga saya dan adik saya punya bahan yang cukup untuk menentukan patokan. Pengalaman membaca saya (yang pertambahannya saat ini mengalami kemunduran) membuat patokan untuk saya sendiri bagaimana rasanya membaca dan mendengar bahasa digunakan dengan indah. Sampai saat ini, saya berpendapat bahwa semakin banyak seseorang membaca, semakin indah tulisannya. Namun terkadang, semakin banyak membaca, semakin rumit seseorang menulis. 

Saya suka bahasa. Bahasa Indonesia terutama. Namun, saya membagi perhatian saya dalam bahasa. Blog ini misalnya, adalah tempat saya belajar menulis dengan baik dalam bahasa Indonesia. Ya walau seringkali saya menulis sesuai apa yang saya pikir saat itu. Pikir, tulis, pikir, tulis. Lalu sunting di akhir tulisan. Saya berpikir pun dalam bahasa Indonesia (banyak orang yang berpikir dalam bahasa Inggris. Saya tidak melakukannya murni karena tidak terbiasa. Hehehe..).

Bahasa Inggris? Saya juga suka. Saya belajar dan menyukai bahasa ini sejak SD. Di SD saya dulu ada pelajaran Bahasa Inggris (ketika di SD lain saat itu mata pelajaran ini belum ada). Saya ingat guru saya memberikan tips. Belajarlah dengan lagu. Alhasil, saya mengumpulkan semua lirik-lirik lagu bahasa Inggris dari majalah, belajar struktur dan kosa kata dari sana. Memang lebih cepat bisanya. Sekarang, karena saya tidak hidup dalam lingkungan yang mengharuskan saya berbicara dalam bahasa Inggris, saya menjaganya dengan hal-hal sederhana. Menyelipkannya di sana sini dalam percakapan sehari-hari, dalam status-status di Facebook dan Twitter, membaca artikel di internet dan novel, menonton film dan serial TV, dan tentunya dari lagu-lagu barat.

Nampak lebih banyak sarana untuk bahasa Inggris dibanding bahasa Indonesia. Mungkin. Tapi seperti saya bilang, saya (dengan senang hati) terpaksa membaca banyak buku dalam bahasa Indonesia di masa kecil saya. Sehingga, kesukaan (kalau boleh dibilang kecintaan atau kebiasaan?) saya terhadap bahasa Indonesia tidak akan mudah hilang. Insya Allah. Sampai saat ini pun, buku atau kolom-kolom yang membahas bahasa atau yang menggunakan bahasa Indonesia dengan indah tetap membuat hati saya lebih bergetar dibanding artikel atau novel dalam bahasa Inggris misalnya.

Saya suka bahasa. Bahasa Indonesia terutama. Karena jika bahasa ini diperlakukan dengan benar, akan begitu indah untuk didengar atau dibaca. Sayangnya, tidak banyak lagi orang yang menggunakannya dengan benar. Seperti apa yang benar pun, sulit untuk digambarkan. Hati setiap orang yang mendengar dan membaca yang menentukan dan membuat patokan seperti apa indahnya. 

~ Mona Luthfina

P.S. Entah mengapa pagi ini ingin sekali menulis tentang bahasa. Hmmm..

17.8.11

Merdeka untuk Berdoa

Hari ini dimulai seperti hari lainnya. Di kalender sih merah warnanya. Kuliah libur, kantor-kantor libur, koran pun tidak terbit. Awalnya saya pikir seperti itu... 

Namun, karena suatu hal, ada yang membuat saya merasa bungah di dalam hati. Mungkin karena saya teringat rasa bangga saat membaca sejarah bapak pendiri bangsa memerdekakan bangsa ini. Teringat dengan senyum yang otomatis saya lakukan saat melihat bendera merah putih berkibar di tempat-tempat yang tak saya duga. Teringat pula dengan semua perjalanan saya keliling Indonesia. Melihat berbagai macam orang Indonesia dengan budayanya, namun dengan caranya memaknai ke-Indonesia-an. Bertebaran di kepala saya semua episode tentang Indonesia yang ditayangkan oleh National Geographic Channel dan BBC Knowledge. 

Pada momen-momen itulah, saya selalu bersyukur terlahir menjadi anak Indonesia. Karena saya belajar banyak dengan menjadi manusia Indonesia. Mendapat banyak dari Indonesia. Bahagia menjadi orang Indonesia. Untuk kesekian kalinya, saya jatuh cinta lagi dengan negara ini dan merasa bangga akan itu.

..dan di hari ini saya memaknai kemerdekaan dengan merdeka untuk berdoa. Berdoa untuk Indonesiaku kapan saja saya mau. Jadi..

"Selamat ulang tahun, Indonesiaku. Semoga saya dan semua putra putri Indonesia bisa mencintai Indonesia apa adanya, memberikan yang terbaik untuk tanah air, semakin mengerti dan memahami Indonesia dengan cara kami masing-masing. Sehingga kami bisa satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa Indonesia tak cuma lisan, namun hati dan pikiran. Amiin..."

Dirgahayu! Kapan saya bisa membuatmu bangga, Indonesiaku?

~ Mona Luthfina