Bandara Soekarno-Hatta, sekitar jam 4 pagi (WIB) di Gate A5.
Menunggu pesawat Li*n Air tujuan Manado (untuk diteruskan ke Ternate dengan pesawat W*ngs Air) dengan kantuk tak tertahan.
Orang tua itu datang sendiri dengan teken-nya (tongkat) bertanya pada pria muda di tempat duduk di depan saya, "Boleh duduk di sini?"
"Silakan, Pak", jawab pria muda itu.
Orang tua itu berperawakan tinggi, memakai peci putih, kaos cokelat, rompi berwarna khaki, sorban hijau kotak-kotak disampirkan di lehernya. Beliau juga membawa tas kecil berwarna hitam, dan seperti yang sudah saya sebut, tongkat di tangan kanannya.
Di tangan kirinya, beliau membawa kotak Pizza Hut yang dibungkus rapat oleh plastic wrap. Mungkin untuk cucunya, batin saya berkata.
Batin saya juga berkata, bahwa orang tua ini pasti juga ke Ternate, seperti saya. Tidak mungkin ke Manado. Kenapa? Di Manado ada Pizza Hut. Ngapain susah-susah beli pizza dibungkus rapat segala. Hehehe..
Selama menunggu, beliau memakai earphone yang terhubung dengan ponselnya. Apa yang beliau dengarkan ya? Penasaran..
Pesawat berangkat, kami antri untuk masuk pesawat. Saya berdiri di belakang orang tua itu. Wangi. Wanginya mengingatkan saya pada wangi mbah kakung dan wangi kyai-kyai, juga wangi yang mengingatkan saya pada tanah suci Mekkah dan Madinah.
Perjalanan menuju Manado dilalui dengan lancar dan aman. Sampai di Bandara Sam Ratulangi, Manado, lapor ke petugas Li*n Air, diberi boarding pass yang baru dan harus membayar airport tax lagi (ini bagian yang saya tidak mengerti karena biasanya penumpang transit tidak usah bayar airport tax di bandara transitnya, bayangkan jika harus transit 7 kali!!).
Menunggu pesawat W*ngs Air yang pakai baling-baling dan kapasitasnya tak sampai seratus orang. Selama menunggu di Manado, mbah kakung (karena wanginya, saya jadi memanggil beliau mbah kakung) kembali memasang earphone-nya.
Kami pun dipanggil untuk masuk pesawat. Mbah Kakung duduk di baris depan saya.
Pesawat siap untuk tinggal landas. Namun, apa daya.. tak sampai setengah landasan, pesawat kecil itu berputar dan kembali ke posisi awal berhenti mendadak seperti hendak menabrak sesuatu (hampir semua penumpang berteriak, minimal istighfar, kagetnya masya Allah). Penumpang disuruh kembali ke ruang tunggu dan menunggu selama 45 menit.
Mbah Kakung berjalan pelan dengan tongkatnya. Tanpa sadar, saya dan teman saya selalu berjalan tidak jauh di belakangnya.
45 menit berlalu. Kami diberitahu, pesawat ditunda lagi keberangkatannya. Selama menunggu, saya dan teman saya berdiskusi tentang pesawat ini. Beranikah kami naik pesawat ini lagi, apa mau komplain saja, apa mau bagaimana. Akhirnya, kami memutuskan untuk bertanya ke pihak Li*n Air (dan W*ngs Air) tentang solusi-solusi yang bisa diambil jika pesawat ini tidak bisa diperbaiki.
Entah mengapa masalah perpesawatan ini tidak menjadi pikiran utama saya. Tidak ada rasa panik sama sekali. Sehingga, semua masalah perpesawatan ini saya serahkan ke teman perjalanan saya yang sangat bersemangat ingin naik G*ar*da. Hehehe... Saya pasrah. Apapun solusi yang terbaik, itu yang akan saya jalani.
Pikiran terbesar saya adalah Mbah Kakung (dan pizzanya). Jujur, yang membuat saya berat untuk pindah pesawat adalah bagaimana nanti mbah kakung ya.. Kalau ada apa-apa bagaimana. Ok, saya mulai merasa aneh karena kenal pun tidak. Tapi pada saat itu saya benar-benar khawatir.
Keputusan dibuat. Saya dan teman saya pindah pesawat esok harinya. Berpikir sepanjang perjalanan ke hotel di Manado. Apakah ini keputusan yang benar? Mbah Kakung bagaimana? Semoga beliau dijaga oleh Allah..
Malam itu saya teringat semua mbah saya yang sudah pergi lama. Berdoa semoga Mbah Kakung selalu dijaga Allah.
Esok paginya, kembali ke Bandara Sam Ratulangi...
Jam 6.30 WITA kami sudah masuk ke terminal keberangkatan. Tiba-tiba.. lho.. kenapa ada Mbah Kakung (dan penumpang lainnya)? Bertanya-tanya kami menuju ke tempat mereka menunggu, beliau nampak mengenali kami, dua orang cerewet banyak maunya, dan tersenyum lebar pada kami.
Jam 6.30 WITA kami sudah masuk ke terminal keberangkatan. Tiba-tiba.. lho.. kenapa ada Mbah Kakung (dan penumpang lainnya)? Bertanya-tanya kami menuju ke tempat mereka menunggu, beliau nampak mengenali kami, dua orang cerewet banyak maunya, dan tersenyum lebar pada kami.
Ternyata, saat pesawat kecil itu akan terbang untuk kedua kalinya, sudah sampai ujung landasan, kemudian berhenti, kembali lagi ke parkir semula. Atas kebijakan W*ngs Air, semua penumpang dipindahkan ke pesawat Sr*w*jaya Air pagi hari yang sama dengan saya. Ckckck..
Alhamdulillah.. Allah masih kasih petunjuk pada pilot pesawat itu. Coba kalau tetap terbang, sudah almarhum semua mungkin saat ini. Masya Allah.
Saya senang luar biasa melihat Mbah Kakung sehat, walaupun pizzanya sudah tidak jelas bentuknya (dan rasanya.. hahaha).
Alhamdulillah, kami semua selamat sampai di Ternate. Sampai di tempat pengambilan bagasi, saya melihat bapak-bapak keturunan Arab, dengan kedua anaknya yang masih kecil. Batin saya berkata, "Kayaknya mereka yang mau jemput Mbah Kakung". Batin saya benar. Terharu sangat saat melihat bapak itu memeluk ayahnya (Mbah Kakung) sambil hampir menangis, mungkin karena khawatir. Tebakan saya juga benar, pizzanya memang untuk cucunya. Mbah Kakung memberikan pizza itu pada cucu perempuannya dan tongkat pada cucu laki-lakinya. Hati saya lega tak terkira. Beliau bisa bertemu dengan keluarganya kembali.
Saat ini, menulis kembali cerita ini..
Mengapa saya panjang lebar bercerita tentang seorang tua yang tak saya kenal? Entahlah.. Saya yakin cerita ini akan menjadi salah satu fragmen dalam hidup saya yang akan selalu saya ingat. Momen yang tak terlupakan. Ketika saya mengingat semua kakek dan nenek saya.
Mbah Putri Blora (Ibunya Bapak, dulu tinggal di Blora) meninggal ketika saya berusia setahun. Mbah Kung Blora menikah lagi beberapa tahun kemudian. Mbah Kung Blora meninggal pada tahun 1995 setelah lebaran terakhir keluarga besar kami berlebaran bersama di Blora. Mbah Kung Semarang (Ayahnya Ibu, dulu tinggal di Semarang) meninggal ketika saya kelas 2 SD, tahun 1992. Sedangkan, Mbah Putri Semarang meninggal pada saat bulan puasa di tahun 1995.
Fragmen saya tentang mereka sangat sangat sedikit (itupun hanya tentang Mbah Kung Blora dan Mbah Putri Semarang yang memang meninggal lebih akhir). Seumur hidup saya tinggal di Bandung. Bertemu mereka hanya di saat lebaran. Tidak ada cerita berliburan di rumah nenek seperti (hampir) semua anak Indonesia lakukan. Tidak ada cerita nenek saya membelikan saya ini atau itu. Tidak pula cerita diajak kakek jalan-jalan ke kebun binatang.
Mungkin itu mengapa, orang tua di bandara membuat saya merasa dekat dengan beliau. Mungkin karena orang tua itu adalah sosok yang saya inginkan sebagai mbah saya. Mungkin saya rindu kakek nenek saya. Atau mungkin, pada saat itu, saya diingatkan bahwa saya pernah memiliki kakek dan nenek. Mungkin saya diingatkan untuk mendoakan mereka karena jelas saya sangat jarang mendoakan mereka.
Semoga semua mbah kung dan mbah putri saya selalu berada di sisi Allah. Diampuni segala dosanya dan disiapkan surga bagi mereka. Semoga kelak, saya bisa bertemu dengan mereka di surganya Allah. Juga, semoga Mbah Kung Ternate (karena saya bertemu beliau saat perjalanan ke Ternate) selalu dijaga Allah dan selalu dikelilingi oleh keluarga yang menyayanginya. Semoga kelak, entah dalam kesempatan apa, di dunia maupun di akhirat, saya dapat bertemu dengan beliau lagi.
Amiin..
~ Mona Luthfina
Amin.
ReplyDeleteTulisannya bagus, Mona.
Ya allah, saya sampai meneteskan airmata membacanya....
ReplyDeleteSubhanallah