28.8.09

Sepatuku


Ketika pulang dari Medan bulan lalu, Ibu membawakanku oleh-oleh sepatu kulit dari Simalungun. Aku suka sekali sepatu ini, motifnya lucu dan nyaman dipakai.

Hari ini, aku dan Restu shalat di Masjid Raya Kabupaten Gowa. Aku simpan sepatu itu di tangga masjid. Lalu kami shalat.. Sepanjang shalat, aku selalu teringat pada sepatu itu. "Ilang gak ya sepatunya.." atau "Duh, cuma bawa sepasang.." atau "Belinya kan jauh.." dsb. Selesai shalat, langsung istighfar, mencoba pasrah, toh kalau Allah masih mengizinkan, tu sepatu gakkan kemana (sama kayak jodoh. Hehehe..).

Lalu aku beranjak keluar masjid, terdorong untuk sedikit infaq. Aku pun langsung menuju kotak infaq di tempat penitipan sepatu. Baru akan meraih kotak, adek penjaga tempat penitipan sepatu tiba-tiba mengeluarkan sepatuku dan sepatu Restu.

Hohoho.. Aku langsung ketawa, geli sendiri sekaligus malu. Duniawi sekali diriku ini. Shalat gak khusyu cuma karena sepatu. Huakhahaha..

Allah memang Maha Tahu dan Maha Kuasa. Dengan kuasa-Nya, aku masih berjodoh dengan sepatuku. Mungkin Allah beri aku kesempatan sekali lagi dengan sepatuku, kali lain jika aku tidak bisa pasrah, Allah akan ambil sepatuku. Hehehe..

~ Mona Luthfina

P.S. Besok kami pindah ke Kendari :D

23.8.09

Mati Gaya di Ruang Tunggu


Pagi ini aku dan Restu berangkat menuju Makassar untuk perjalanan kerja. 15 hari pol, Makassar - Bone - Jeneponto - Gowa - Makassar - Kendari - Makassar - Menado - Talaud.

Pesawat jam 8.00 pagi teng. Jam 2 pagi kita udah bangun, jam 3 udah dipinggir jalan nungguin taksi yang masya Allah kagak dateng-dateng. Jam 3.15 taksi datang, ke McD buat beli sahur, mesin kasnya pakai rusak segala, XTrans udah nelepon karena kita belum datang. 3.30 sampai XTrans, bayar tiket, 3.31 berangkat menuju bandara. 5.30 sudah sampai dunks, kecepetan banget, jelas. Check In, 5.40 terdampar di ruang tunggu, sampai sekarang, mati gaya to the max menunggu jam 8 (Semoga gak delayed, semoga gak delayed. Amiin..).

Semoga menjadi perjalanan yang menyenangkan dan bermanfaat. Wah, setengah bulan puasa bersama Restu. Ayo tu, sekalian diet. Huakhaha..

Sip ah, back to mati gaya to the max..

Hoaaheemm.. Ngantuk berat!!

~ Mona Luthfina

P.S. Itu foto Restu ngantuk plus mati gaya di ruang tunggu

22.8.09

Buka Pertama


Awalnya, aku pikir buka puasa hari pertama akan sendirian. Jadi aku beli sambal goreng ati seporsi, sop seporsi, dan kolak candil.

Ternyata, adek datang dengan membawa somay, combro, dan bakso.

Buka puasa hari pertama menunya banyak deh.. Gak nyambung pula. Huakhaha..

Selamat berbuka, semuanyaa..

~ Mona Luthfina

19.8.09

Kebangsaan, given or chosen?

Seorang teman pernah memasang status di YM-nya,

"Apa sih alasan yang membuat seseorang mau terikat menjadi bangsa Indonesia?"

Hmm.. tak pernah (atau tak sering) sebelumnya aku menanyakan tentang hal ini. Pertanyaan yang bisa ditujukan untuk semua aspek, kebangsaan, agama, ras, orang tua, dsb.

Saat itu aku menjawab pertanyaan itu dengan, "Because it's given, not chosen.."

Loh, iya kan.. Ketika lahir, kita tidak memilih siapa orang tua kita, apa bangsa kita, lahir dimana, apa agama kita, dan apa suku kita..

Sebagian besar dari kita, berbangsa Indonesia karena orang tua dari orang tua kita memilih untuk berbangsa Indonesia. Lalu, apakah nilai kebangsaan kita menjadi lebih rendah dari kakek nenek kita? Hmm.. mungkin iya, tapi mungkin juga tidak..

Mungkin iya, jika kita tidak lagi peduli dengan bangsa kita sendiri, tidak lagi peduli apakah kita ini seorang yang berbangsa Indonesia atau bukan. Memang harus seperti apa orang yang berbangsa Indonesia? Menurutku, paling tidak kita harus menjaga kehormatan bangsa (omonganku ngawang berat). Praktisnya, misal mencintai produk dalam negeri, menjaga perilaku seperti layaknya orang Timur. Santun, cerdas, berbudi luhur, tenggang rasa, saling menghormati, dan murah senyum. Jika tak begitu, mungkin generasi kita adalah generasi yang memiliki nilai kebangsaan rendah. Ini mungkin loh ya..

Mungkin tidak (nilai kebangsaan lebih rendah), jika dengan berbagai perkembangan dunia yang terjadi, kita bisa memanfaatkannya untuk terus membanggakan bangsa. Tidak sepenuhnya menerapkan semua yang diterapkan oleh negara maju, tapi mengambil manfaatnya yang cocok untuk bangsa kita. Misalkan dalam bergaul, belajar, dan memanfaatkan teknologi, dengan begitu nilai kebangsaan yang diturunkan oleh generasi-generasi sebelumnya bisa terjaga bahkan berkembang ke arah yang lebih baik.

Kebangsaan saat ini memang lebih banyak diberikan (given), bukan dipilih (chosen). Pilihan yang ada saat ini adalah apakah kita akan terus menjaga dan meningkatkan nilai kebangsaan itu atau justru akan merendahkannya.

Dikembalikan kepada diri kita masing-masing..

~ Mona Luthfina

P.S. Masih dalam euforia 17 Agustus..

8.8.09

Demi Kehormatan Seorang Manusia

Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh
Hidup adalah untuk mengolah hidup
Bekerja membalik tanah
Memasuki rahasia langit dan samudra
Serta mencipta dan mengukir dunia

Kita, menyandang
tugas

Karena tugas adalah tugas
Bukannya demi sorga atau neraka
Tetapi demi kehormatan seorang manusia!

~ dari "Sajak Seorang Tua untuk Istrinya", WS Rendra

Antara kebutuhan dasar dan idealisme, manakah yang akan kau pilih? Apakah selalu yang pertama? Atau selalu yang kedua?

Karena tugas adalah tugas, bukannya demi sorga atau neraka, tetapi demi kehormatan seorang manusia.

Yeah rite.. Benarkah akan selalu seperti itu? Sigh...

~ Mona Luthfina

P.S. Rest in peace, WS Rendra..

4.8.09

Aku Ingin Melihat Dunia

Seorang teman memberikan link youtube ini dan adek (yang ulang tahun hari ini) menulis sebuah postingan di blognya..

Membaca postingan si adek dan mendengar lagu dari Youtube ini membuat sudut kecil hatiku bergetar tak sengaja. Dunia ini memang begitu besar, begitu banyak bahan untuk dipelajari, begitu banyak cerita untuk didengar, begitu banyak keajaiban yang bisa dilihat, begitu banyak perasaan yang bisa dirasa.

Kedua hal itu mengingatkanku pada hal-hal yang selalu membuat mataku berbinar dengan cerah pada waktu kecilku. Belajar banyak hal dari banyak buku sekaligus, mengunjungi berbagai tempat dari banyak acara televisi, mengimajinasikan banyak plot cerita dari mendengar banyak dongeng. Rasa keingintahuan yang polos dari anak kecil.

Tidak cukup banyak orang yang beruntung bisa terus memiliki rasa keingintahuan yang besar terhadap banyak hal. Tidak cukup banyak orang juga yang beruntung untuk memiliki rasa bertanya yang kuat dan selalu bertanya, "Mengapa?" pada setiap hal yang menggelitik rasa ingin tahunya. Tidak semua orang juga cukup beruntung untuk bisa berpikir banyak hal dalam satu waktu. Walaupun aku yakin bahwa setiap orang selalu memiliki rasa keingintahuan dan rasa ingin bertanya di sudut hatinya masing-masing. Tapi tidak semuanya bisa dengan mudah muncul dalam sekejap.

Ah, dan kedua hal itu (youtube dan postingan adek) membuat sudut hati kecilku yang menyimpan rasa keingintahuan besarku dan rasa ingin bertanyaku muncul seketika. Tiba-tiba ingin melihat dunia luas. Aku ingin melihat dunia dan tidak hanya berada di sudut lantai 4 di kota yang sudah aku hafal isinya selama 20 tahun ini.

Aku ingin melihat dunia..

Untuk temanku dan adekku. Terima kasih untuk mengingatkanku bahwa dunia itu begitu luasnya untuk dinikmati. Hehehe..

~ Mona Luthfina

P.S. Walaupun mungkin aku tidak akan melihat dunia lain selain Indonesia dalam waktu dekat, tapi aku yakin, suatu saat nanti akan datang dimana aku bisa memanjakan rasa keingintahuanku itu secara langsung. Amiin..

P.P.S. Adek, selamat ulang tahun. Kadonya postingan ini saja yah.. Hehehe..

2.8.09

How's life?

How's life, Mon?

Hmmm.. entahlah, sedang banyak mendapat pertanyaan seperti ini. Tak mampu menjawabnya dengan sempurna. Kenapa ya.. mungkin karena memang hidup pun tidak ada yang sempurna. Selalu ada celah yang siap untuk dijadikan keluhan dan selalu ada peluang untuk dijadikan kebanggaan.

How's life, Mon?
Bagaimana hidupmu?

Saat ini, jawaban terbaik yang bisa aku berikan adalah.. Hidupku.. cukup. Alhamdulillah. Tidak kekurangan, tidak juga berlebihan. Lalu, apakah menjadi membosankan? Mungkin pada satu waktu iya.. pada lain waktu tidak juga..

Huakhahaha.. belibet.. muter-muter..

Kalau saat ini aku boleh mendefinisikan kebahagiaan, mungkin aku akan mendefinisikannya seperti ini: "Bahagia itu cukup. Jadi, cukup itu bahagia."

Pembenaran, untuk menyatakan bahwa, "Ya, aku bahagia saat ini."

Ah.. begitukah?

So, how's ur life?

~ Mona Luthfina