5.6.09

Maaf yang Tak Pernah Habis

Di satu waktu....

Aku: "Bapak tuh kalau cerita sama orang lain tentang anak-anaknya suka berlebihan, Pakde. Misal: 'Iya, anak saya kuliah di ITB, yang besar ambil Teknik Industri, adeknya di Teknik Informatika..' kan sebel Pakde, bapak terlalu berlebihan.."

Pakde: "Eh, kamu jangan gitu, Mon. Kamu sama adek tuh kebanggaan bapak sama ibu loh. Jadi biarin aja kalau bapak cerita begitu."

Di lain waktu...

Aku: "Kenapa sih Ibu gak pernah kayak Ibu-Ibunya teman mb Mona yang lain. Nganterin anaknya, masakin anaknya bekal buat sekolah, ambilin rapor.."

Ibu: "Ibu memang gak kayak Ibu yang lain, tapi Ibu selalu memastikan mb Mona sehat, makanan selalu siap walau bukan Ibu yang masak. Lagian Ibu gak pengen anak Ibu jadi anak yang manja.."

Lagi, di lain waktu..

Aku: "Selama ini kan Bapak kerja di Jakarta, emang Bapak tahu mb Mona di rumah kayak apa?"

Kembali di lain waktu...

Bapak: "Mona, minta maaf sama Ibu!"

Aku: "Gak mau, Ibu yang salah."

Bapak: "Mona!! Mona harus minta maaf sama Ibu!"

Aku: "Kenapa sih selalu Ibu yang benar dan mb Mona yang harus minta maaf?"

Masih di lain waktu..

Bapak: "Nanti Bapak kalau udah tua, mb Mona mau ngerawat Bapak gak ya? Abis sekarang Bapak minta tolong aja gak dibantuin."

Aku: "Bapak nih, apa sih pertanyaannya."

Percakapan di atas, tidak cuma terjadi beberapa kali saja. Tapi sering kali. Aku sampai sekarang masih gak ngerti, dengan kebandelanku yang kayak gitu, dengan tajamnya lidahku, kerasnya kepalaku, reaktifnya aku, kok bisa Ibu dan Bapak masih menyayangiku sampai begitu besarnya.

Di mataku pada saat berargumen dengan Ibu Bapak, selalu, setiap yang mereka lakukan, setiap yang mereka katakan, selalu saja salah. Padahal, tahu apa aku? Umur belum genap 24 tahun sudah sok tahu tentang kehidupan.

Aku tidak menjamin percakapan macam di atas tidak akan terulang kembali. Tidak dengan lidahku yang tajam, tidak juga dengan kepalaku yang seperti batu, apalagi dengan sifatku yang emosional. Tapi dengan kondisi seperti ini pun, Ibu dan Bapak akan selalu memaafkanku pada akhirnya. Tak habis pikir, bagaimana Ibu Bapak punya persediaan maaf yang tak pernah habis untuk kedua anaknya. Untuk aku yang merasa memaafkan itu kadang lebih sulit daripada minta maaf, kemampuan Ibu Bapak untuk memaafkan aku dan adek sangat menakjubkan, untuk setiap kesalahan, kecil dan besar.

Mungkin memang Allah menciptakan orang tua seperti itu. Segudang cinta, segudang sabar, segudang semangat, dan segudang maaf. Mungkin itu sebabnya ada istilah Unconditional Love. Benar-benar gak lihat situasi dan kondisi. Orang tua akan selalu menyayangi dan perhatian pada anak-anaknya.

Jadi...

Ibu, Bapak.. Untuk setiap percakapan seperti di atas, baik yang sudah maupun yang [mungkin] akan terjadi, mb Mona minta maaf. Walau pada saat itu terjadi, mb Mona akan terlalu sibuk mencari kesalahan Ibu dan Bapak, dan bersikukuh tidak akan minta maaf, namun dalam sudut hati, di pojok banget deh, selalu ada sesal mengapa selalu saja membuat Ibu Bapak sedih dan kecewa.

"Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu-bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan 'ah' dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik." ~ QS. Al-Isra 17: 24

~ Mona Luthfina

3 comments:

  1. huuuu monaaaa aku pengen nangis baca postinganmu yang iniiiii :'((((((

    ReplyDelete
  2. my quote of the day : "gw gak akan kabur... kalo kabur gw akan kabur kabur terus selamanya..."

    ReplyDelete
  3. wah siap-siap ya mon klo punya anak. harus punya persediaan maaf yg sama besarnya ama orangtua lo.

    *geleng2 kepala gw liat percakapan lo ama ortu lo* jangan diulang ya mooonnn. *muah*

    ReplyDelete