16.3.09

Ketika yang Haram menjadi Wajar dan Harus

Karena tugas, aku berkesempatan untuk menemui beberapa pengusaha dengan gayanya masing-masing. Secara gamblang aku diperlihatkan seperti apa pada umumnya pengusaha di Indonesia. Yang gamblang itu yang membuatku miris.

Di Indonesia itu sudah lumrah bahwa seorang pengusaha ketika dia sedang memulai usaha baru, berusaha untuk memberikan "sesuatu" kepada siapapun yang terkait dengan usahanya. Entahlah itu penguasa daerahnya atau orang-orang yang dia anggap bisa membantu melancarkan usahanya. Bentuknya macam-macam. Umumnya sih dalam bentuk amplop tebal, kadang pula kotak yang berisi jam tangan, ada yang berusaha membayari hotel, atau memaksa untuk memberikan oleh-oleh. Ada yang memaksa, ada pula yang mundur teratur ketika dibilang "Tidak."

Miris.. Haruskah seperti itu jika ingin menjadi pengusaha di Indonesia? Sedihnya lagi, semua praktek sogok-menyogok, suap-menyuap itu didukung oleh penguasa daerah (baca: pemerintah setempat) dan hal ini menjadi hal yang lumrah. Gak masuk logikaku kemana-mana, bukannya hal yang kayak gini haram ya? Kok malah jadi biasa dan wajar, dan saking wajarnya malah jadi keharusan. Apa susah ya menjadi pengusaha yang bermain jujur di Indonesia?

Dan ternyata hal semacam ini tidak cuma untuk membuat suatu usaha saja, tapi hampir di semua aspek kehidupan di Indonesia pasti ada aja yang kayak gini. Misal, mau mencalonkan diri jadi gubernur, harus bayar dulu. Mau jadi caleg, bayar dulu. Membayar sesuatu yang entah itu apa. Tidak hanya yang tua, yang muda pun sekarang begitu, karena Bapak Ibunya (yang diajarkan oleh Bapak Ibunya juga) mengajarkan seperti itu.

Gak usah yang besar, yang kecil-kecil aja di sekitar kita. Buat KTP, buat SIM, ngurus izin di kelurahan, dan berbagai macam urusan lainnya. Ketika kita ingin hidup dengan bersih, lingkungan tidak mendukung, lalu apa yang harus kita lakukan? Tetap bergeming dan terus hidup bersih walau lingkungan akan menyisihkan kita pada akhirnya? Atau nyebur aja ikut ke dalam lingkungan yang tak bersih itu? Ah.. bisa dipecat jadi anak oleh Ibuku.

Ngeri.. sesuatu yang haram menjadi sebuah kewajaran bahkan keharusan. Mau disimpen di mana muka kita ketika menghadap-Nya kelak?

~ Mona Luthfina yang bingung..

P.S. Semoga saja apa yang aku lihat itu memang cuma segelintir dari pengusaha-pengusaha di Indonesia. Banyak juga kok yang masih bertahan dengan prinsip kejujurannya dan semoga mereka yang dilancarkan jalannya. Amiiinn..

No comments:

Post a Comment