18.1.14

Karyawati dan Pelacur

“Saya menyadari bahwa seorang karyawati lebih takut kehilangan pekerjaannya daripada seorang pelacur akan kehilangan nyawanya. Seorang karyawati takut kehilangan pekerjaannya dan menjadi seorang pelacur karena dia tidak mengerti bahwa kehidupan seorang pelacur menurut kenyataannya lebih baik dari kehidupan mereka. Dan karena itulah dia membayar harga dari ketakutan yang dibuat-buat itu dengan jiwanya, kesehatannya, dengan badan, dan dengan pikirannya. Dia membayar harga tertinggi bagi benda-benda yang paling bernilai rendah. Saya tahu sekarang bahwa kita semua adalah pelacur yang menjual diri dengan macam-macam harga, dan bahwa seorang pelacur yang mahal jauh lebih baik daripada seorang pelacur yang murahan. Saya pun tahu, bahwa apabila saya kehilangan pekerjaan, apa yang hilang itu hanyalah gaji yang kecilnya menyebalkan, hukuman yang sanksinya saya dapat baca tiap hari di dalam mata para pejabat eksekutif yang tinggi apabila mereka memandang kepada para karyawati yang pangkatnya lebih rendah, tekanan yang menghinakan dari tubuh laki-laki terhadap tubuh saya apabila saya mengendarai bis, dan sedang berbaris dalam barisan pagi hari di muka kamar kecil yang terus-menerus penuh pengunjungnya.“ 
~Firdaus dalam ‘Perempuan di Titik Nol‘, Nawal el-Saadawi.

Salam,

~Mona Luthfina

14.1.14

Haus Perhatian

Ibu saya adalah seorang dokter. Internis tepatnya. Ibu saya sangat mencintai pekerjaannya. Ibu saya juga sangat mencintai keluarganya. Tapi bagi Ibu saya, pekerjaan seringkali akan menjadi prioritas pertama dalam hidupnya. Setidaknya di mata saya. Bukan karena tidak peduli dengan keluarga, tapi karena memang lebih banyak orang yang membutuhkan Ibu saya di luar. Kurang lebih.

Entah sejak kapan, saya juga tidak ingat. Saya selalu tahu bahwa kami (saya dan adik saya) akan selalu menjadi nomor dua. Saya lalui masa kecil, remaja, dan dewasa saya seperti itu dan itu tidak apa. Bapak pun di masa kecil, remaja, dan dewasa muda kami bekerja di Jakarta. Pergi Selasa shubuh, pulang Jumat malam. Bertemu hanya di akhir pekan.

Beberapa tahun ini, kami bahkan menjadi nomor tiga. Nomor dua yang baru adalah sekolah dan yayasan yang Ibu kelola di rumahnya. Untuk informasi, di rumah orang tua saya, Ibu dan Bapak membangun lembaga pendidikan Quran Nun Learning Center dan Sekolah Alam Gaharu. Menjadi prioritas ketiga pun saya merasa tidak apa. Pertama karena saya sudah terbiasa tidak bergantung. Kedua karena paling tidak Ibu dan Bapak merasa bahagia di hari tuanya. 

Tentu saja, terkadang perihal Ibu saya lebih memprioritaskan pekerjaannya menjadi apa-apa. Bukan. Bukan ketika pulang sekolah hanya disambut pembantu. Bukan ketika membuat pekerjaan rumah tak dibantu. Bukan ketika pulang pergi sekolah sendiri. Bukan ketika melihat teman lain dibawakan bekal makanan masakan Ibunya. Bukan pula ketika harus ambil rapor sendiri, atau bahkan ketika harus daftar sekolah atau ini itu sendiri. 

Bahkan ketika semua hal di atas menjadi keluhan, saya merasa bersalah. Saya saat ini adalah bentukan Ibu Bapak saya. Kemandirian saya saya akui adalah bisa karena biasa. 

Ohya, jadi kapan saya merasa apa-apa dengan menjadi prioritas kedua (atau ketiga)? Saya pun tidak ingat. Karena (akhirnya) saya tahu (biarpun belum paham, belum mengerti, dan belum pernah merasakan), bahwa bagi Ibu saya, rasa bersalah itu tidak akan hilang. Rasa bersalah karena menjadikan anaknya bukan prioritas pertama. Ibu saya tidak bilang bahwa beliau merasa bersalah. Namun biarpun tak terkatakan, saya tahu bahwa rasa itu tidak akan hilang.

Ada satu masa di mana saya tidak ingin bekerja jika sudah menikah. Ada satu masa di mana saya tidak ingin (bersifat) menjadi seperti Ibu saya ketika saya dewasa. Saya tidak ingin menjadi seseorang yang menjadikan keluarganya prioritas kedua atau ketiga. Tapi saat ini, ide bahwa tidak bekerja setelah menikah cukup menakutkan. Ide untuk bergantung pada orang lain bahkan lebih menakutkan. 

Ah ya.. Akhirnya saya ingat. 

Perihal Ibu saya menjadikan keluarganya di prioritas kedua atau ketiga adalah apa-apa adalah karena hal itu membuat sepanjang hidup saya kesepian dan haus perhatian. Saya yakin adik saya pun begitu, dengan caranya (yang lebih sering tidak saya mengerti). Teman selalu ada, datang dan pergi. Keluarga besar begitu banyak, datang dan pergi. Traveling selalu dilakukan, sesekali. Bertemu orang baru selalu terjadi. Pekerjaan dan sekolah selalu ada. Tapi pada akhirnya, di akhir hari. Saya pulang ke rumah yang kosong. 

Ibu dan Bapak belum pulang.

Saat ini, saya memang belum mengerti. Tapi saya yakin, seperti yang sudah-sudah. Saya akan menemukan jawabannya. Kali ini, tolong jangan paksa saya untuk mengerti, biarkan saya untuk merasa kesepian dan haus perhatian.



Salam, 

 ~ Mona Luthfina