28.7.12

Doa

A Praying Moslem in Istiqlal Mosque
credit: Getty Images
"Aku selalu mendoakanmu, Mona.."

Seorang sahabat berkata seperti itu tidak lama ini. Hati seketika menjadi hangat. Hangat karena diingat dalam bentuk sebuah doa. Alhamdulillah.. :)

~ Mona Luthfina

26.7.12

27

Let's see..

Di keluarga saya, kami tidak pernah merayakan ulang tahun dengan pesta. Tidak pernah beli kue ulang tahun. Tidak menunggu jam 12 malam bersama. Jarang memberikan kado. Paling yang kami lakukan hanya makan bersama, itu pun sekalian (sekalian ulang tahun pernikahan Ibu Bapak, ulang tahun Ibu, ulang tahun saya, dan ulang tahun adek yang semuanya berdekatan. Hehehe..). Sehingga, saya dan adek terbiasa untuk tidak melakukan itu semua (kado, kue, dan menunggu jam 12 malam). 

Sehingga, kalau harus menunggu jam 12 malam untuk bisa dibilang ulang tahun, maka dalam 27 tahun hidup saya, bisa dihitung dengan jari di satu telapak tangan berapa kali saya melakukannya. Hahahaha..

Tahun ini agak berbeda tanpa sengaja..

Saya memutuskan untuk ke Jakarta sehari sebelumnya. Bertemu dengan seorang teman lama, impulsif. Tidak biasanya saya pergi keluar kota tanpa perencanaan. Setiap keluar kota, selalu saya usahakan sekalian sekalian. Ternyata keimpulsifan saya berbuah manis. Jadi, teman yang saya temui ini lupa kalau saya mau ulang tahun. Baru ingat ketika diingatkan oleh teman saya yang lain (yang kami temui kemudian dan ternyata ingat kalau saya mau ulang tahun). 

Ngobrol ngalor ngidul.. Lalalala, lilili.. Sengaja menunggu jam 12 malam. Tanpa kue, tanpa lilin, gelap-gelapan di sebuah coffee shop (yang memang sudah mau tutup), dengan sisa satu cookie pendamping Coffee Latte yang kami pesan. Sisa satu cookie tadi pun akhirnya didaulat menjadi birthday cookie. 

Jam 12 teng. "Selamat ulang tahun, Mona!" Foto bersama cookie, foto bersama teman.. Simpan cookie di meja.. Lalala lililili... Tanpa sadar, mbak coffee shop sudah mengambil sisa satu cookie tadi, karena coffee shop-nya mau tutup. Pas sadar, tak ada cookie tersisa. Huakhahahahaha...

Pulanglah saya ke rumah sepupu saya (tempat adek saya tinggal sekarang).

Lalala lilili, cuci muka, shalat, tarawih, tarik nafas.. Tidur.

Jam 4 pagi. Sahur, ambil nasi, ambil lauk. Tiba-tiba muncul sepupu saya membawakan chocolate cake-nya Dapur Cokelat lengkap dengan lilinnya.. Antara makan sahur, tiup lilin, makan sahur lagi, motong kue, ditelepon Bapak Ibu, makan sahur, dan makan kue (maklum, imsak menjelang). Lengkap sudah pesta ulang tahun saya. Hehehe..

Manis ternyata. Melewatkan jam 12 malam bersama teman-teman lama dengan berbagai macam cerita yang membuat otak saya kesenangan. Sahur pertama di Ramadhan tahun ini yang tidak sendiri, bersama keluarga (adek dan sepupu saya). Mendapat ucapan penuh doa dan selamat via telepon, whatsapp, twitter, dan SMS. Didoakan dengan tulus oleh Ibu dan Bapak.

Hari ini menyenangkan. Alhamdulillah, impulsif ke Jakarta memberikan banyak hal sekaligus untuk dipelajari, dinikmati, dirasakan, disyukuri, dan disemangati. Untuk itu, terima kasih banyak untuk teman saya yang meminta saya ke Jakarta. Kehendak Allah itu memang tak ada yang tahu. Di situasi dan kondisi lain, saya tidak semudah itu untuk mengiyakan untuk segera ke Jakarta. 

Doa tahun ini tetap detail seperti tahun-tahun sebelumnya. Tapi satu doa yang terasa sangat perlu, biarpun nampak ngawang. Semoga dapat menjadi Mona yang selalu lebih baik dan mampu membahagiakan orang lain di sekitarnya. Amiin..

Terima kasih. Sebenarnya, sejak lama saya selalu berpikir, semua doa dan ucapan selamat di ulang tahun saya itu seharusnya diucapkan kepada Ibu saya. Kenapa? Karena hari ini, adalah untuk Ibu. 27 tahun lalu Ibu saya dengan sakit, peluh, tangis, dan kasih sayangnya melahirkan saya ke dunia. Jadi sangat wajar jika setiap tanggal ini menjadi hari Ibu untuk saya. :)

Senangnya.. :)

~ Mona Luthfina

P.S. Mencari teman untuk makan Chocolate Cake. :P

23.7.12

Bercerita

Terutama dua tahun terakhir, saya semakin pintar untuk tidak bercerita. Maksudnya begini.. Setiap ada masalah, entah kenapa, Allah selalu saya kasih cerita dari orang lain dulu. Jadi semisal saya ingin mengeluh tentang sesuatu, tetiba saja ada yang cerita tentang masalahnya yang membuat masalah saya (dalam perspektif saya) jadi nampak dangkal. 

Awalnya begitu.. Berulang kali terjadi, jadi terbiasa untuk tidak bercerita. Bercerita loh ya..bukan mengeluh. Mengeluh sih selalu, siapa juga sih manusia yang lepas dari keluhan. Caranya saja yang berbeda. Entah itu teriak-teriak sendiri di rumah, nangis menggila, nyanyi macam orang kalap, joget gak jelas (mulai mengkhawatirkan gak sih saya? Belum.. Oh ok..).

Lebih banyak yang saya jadikan samsak ya playlist lagu saya. Lihat saja bentuk pelampiasan saya apa. Kekurangannya, JERAWAT. Boleh dibilang ini stress terpendam, sila saja.. Saya akui ini stress terpendam. Hehehe..

Dulu saya sering berdalih pada diri saya sendiri, selama ada satu orang di dunia yang bisa kita pegang untuk bercerita, maka saya akan baik-baik saja. Sayangnya, satu per satu... *wordless* (tak bisa mendapatkan padanan kata yang cocok untuk ini). Saya juga sudah menyetel diri saya juga sih, ketika suatu kondisi dari suatu hubungan terlewati (sebut saja salah satunya melangkah ke fase kehidupan selanjutnya), maka kemudian akan ada batasan baru yang muncul. Batasan yang tidak bisa juga saya lewati seenaknya. 

Itulah mengapa, setiap pernikahan, setiap kelahiran, saat ini selalu menjadi situasi manis pahit bagi saya. Ketika itu terjadi, tarik nafas, melangkah pelan, dan tersenyum. Mentok. Ha!

Terutama dua tahun terakhir, saya semakin pintar untuk tidak bercerita. Tapi semakin saya sadari bahwa bercerita itu perlu. Bercerita. Bukan sekedar rangkuman, bukan hasil rephrasing dan pemikiran mulai dari latar belakang sampai batasan masalah. Bercerita saja, sesederhana cerita itu sendiri.

Hampir 27 tahun dalam hidup saya, saya dibiasakan untuk mengamati, beradaptasi, meresap, dan menganalisis. Saya tidak dibiasakan untuk bercerita. Percaya atau tidak, untuk menyampaikan sebuah wacana dalam hidup saya kepada kedua orang tua saya, saya harus menyusun mulai dari latar belakang masalah sampai tujuan dan manfaat dengan terstruktur. Bukan karena terpaksa dan disuruh, tapi lebih karena saya tahu banyak hal yang menjadi pikiran Ibu dan Bapak dalam satu waktu, sehingga saya tidak mengizinkan diri saya untuk tidak jelas. 

Pada akhirnya, saya menjadi pintar untuk menyampaikan maksud (walau masih harus dipikirkan lama, pernah sepertinya saya berpikir berbulan-bulan untuk menyampaikan satu hal pada Ibu dan Bapak). Karena itulah, ketika saya butuh untuk menjadi tidak jelas tanpa alasan, saya tidak boleh tidak jelas tanpa alasan. Akhirnya jadi kesal sendiri karena sekali lagi menjadi anak yang selalu mengecewakan orang tuanya atau menjadi sahabat yang tidak memenuhi permintaan sahabatnya. 

Overload. Terlalu sering menjadi pengamat dan penonton di pinggir lapangan, mengakibatkan begitu banyaknya informasi yang masuk ke otak dan hati yang harus diproses dan dirasakan. Melelahkan. Tidak jelas juntrungannya, jadi terlihat tidak jelas tanpa arah, diiringi kemampuan bercerita yang mengalami degradasi. Akhirnya merutuki diri sendiri, tingkat kepercayaan diri menurun signifikan. Lingkaran setan.

Jadi apa yang saya pelajari?

Bercerita itu wajib. Cari samsak bercerita yang siap seumur hidup. Konsekuensinya adalah saat menjadikan sesuatu atau seseorang sebagai samsak, siaplah menjadi samsak.

Masalah kita itu kadarnya akan selalu sepele, karena pada dasarnya kita tahu solusinya apa. Permasalahan intinya adalah mau atau tidak kita mengeluarkan dan melaksanakan solusinya.

Rajin-rajin beribadah. Biar gak stress.. Hehehehe..

Terus belajar dan memperbaiki diri. Saat diri kita merasa diri kita tidak cukup baik, ya mungkin memang tidak cukup baik. 

Banyak-banyak berdoa. Sebenarnya manusia itu selalu membutuhkan pendengar. Allah Maha Pendengar, Dia akan selalu mendengarkan hamba-Nya yang dalam susah maupun senang. Jadi kalau ingin bercerita, berceritalah pada Yang Menciptakanmu.

Sekian. 

~ Mona Luthfina

19.7.12

Evolusi Bandung: Baleendah - Pasteur

Pernah naik angkot dari Baleendah ke Pasteur? Saya pernah.

Perjalanan Baleendah - Pasteur itu paling cepat naik mobil pribadi/taksi. Sekitar 30 menit. Tentunya lebih mahal. Naik angkot? 2 jam. :))

Ada berbagai macam jalan dan trayek angkot untuk rute ini, tapi yang paling mudah dan paling sedikit pergantian angkotnya adalah naik angkot Dayeuh Kolot - Kalapa, lalu Kalapa - Sukajadi, dan terakhir Sederhana - Cimindi. Dijamin sampai depan rumah Saya di Sukagalih. Lama aja.. 2 jam! :))

Naik angkot untuk saya selalu menarik. Saya berkenalan dengan angkot di Bandung sejak kelas 1 SD (rumah saya di Sukagalih, dekat Pasteur, SD saya di Sasakgantung, dekat Kebon Kalapa). Setiap hari selama 9 tahun (SMP saya SMPN 10 Bandung di sebelah terminal Kebon Kalapa. Hehehe..) saya mengambil trayek angkot yang sama. Mulai dari 500 perak sekali pergi sampai harga terakhir di kelas 3 SMP itu 3500 rupiah. Sekarang, 5000 rupiah (10 kali lipat dari 20 tahun yang lalu).

Ingin mengenal Bandung? Sesekali boleh dicoba rute angkot dari Baleendah - Pasteur. Sepanjang perjalanan seperti melihat film Evolusi Bandung dalam waktu 2 jam. Mulai dari Kabupaten Bandung, dimana orang-orang membuang sampah dengan nyamannya di trotoar jembatan. Daerah yang tidak terlihat wujud selokan atau got, sungai yang penuh dengan sampah (bukan berarti sungai di Kota Bandung sendiri bersih sih ya..), debu yang masya Allah tebalnya, pohon yang begitu sedikit dengan dedaunan berwarna cokelat. Bukan karena sedang meranggas, tapi karena tebalnya debu. 

Melewati jembatan tol, artinya masuk ke Kota Bandung. Siapapun yang menganggap Bandung itu kota yang cantik, nyaman, dan bersih, pastinya baru menyambangi Bandung Utara. Bandung bagian Selatan (yaitu bagian selatan dari rel kereta api yang membelah Kota Bandung) itu numpuk senumpuk-numpuknya. Semua tumplek di situ. Pertokoan, manusia, motor, mobil, kaki lima, angkot, manusia, gedung-gedung, sampah, rumah-rumah, manusia. Semua. Salah satu pemandangan yang membuat saya terkagum-kagum sekaligus tidak habis pikir adalah jemuran di pinggir Jalan Dewi Sartika, di depan Yogya Kepatihan (toko Yogya paling besar di Bandung), di tengah kota, di mana tak terlihat adanya perumahan, di mana cuma ada toko kecil, toko besar, dan gedung perkantoran. Jemuran di pinggir jalan. Sudah pasti cepat kering, terjamin tidak bersih (lha wong dilewatin ribuan kendaraan dalam sehari dengan asap knalpotnya yang tahu sendirilah). Satu angkot berekspresi sama. Bandung oh Bandung.. :))

Melewati rel kereta api, akan terasa perbedaannya. Bahkan penumpang angkot pun berubah karakternya. Dari yang semula banyak berbincang dalam Basa Sunda, sekarang banyak pakai Bahasa Indonesia. Mulai banyak yang tekun dengan Blackberry-nya. Penumpang yang asyik sendiri dengan gadget di pangkuannya. Angkotnya pun cenderung lebih bersih. Entah kenapa.. :))

Walaupun tidak bisa dikatakan juga kalau Bandung bagian Utara ini bersih dan teratur, namun jelas terasa lebih bersih dan teratur daripada saudaranya di bagian Selatan. Bangunan banyak yang cantik, jalan lebih bersih, trotoar lebih banyak yang ramah pejalan kaki (walau masih jauh dari nyaman untuk ukuran standar kenyamanan). Pohon lebih banyak, debu lebih sedikit. 

Kenapa ya?

Apa karena petinggi-petinggi Kota Bandung (dan Jawa Barat) bekerja dan tinggal di Bandung bagian Utara-kah? Atau karena 66 tahun yang lalu saat peristiwa Bandung Lautan Api yang terbakar hanya bagian Selatan? Atau karena orang kaya Bandung sebagian besar ada di bagian Utara?

Ah, entahlah.. Perjalanan Baleendah - Pasteur saja sudah cukup membuat saya sampai rumah ingin mandi dan tidur, haruskah berpikir tentang kenapa begini kenapa begitu di Kota Bandung? :))

~ Mona Luthfina

13.7.12

Jumat Semangat: 13.7.2012

Saya baru saja pulang kampung selama lima hari (Minggu - Kamis). Tidak jauh, Baleendah saja, dua jam perjalanan naik angkot. Hehehe.. Lima hari di rumah Ibu hasilnya adalah..

Didaulat jadi pengelola urusan Lebaran keluarga (sembako, urus uang, buat paket-paket lebaran, dsb, dsb). Rutinitas tahunan yang biasanya ditangani Ibu langsung, kali ini Ibu saya tidak mau capek berpikir. Hahaha..

Dititah beli komputer dengan budget 3.5 juta rupiah di hari Rabu, untuk dibeli hari Kamis, diinstall hari Jumat (hari ini) dan dibawa ke Baleendah hari Sabtu. Hampir disuruh beli netbook sekalian, tapi keimpulsifan ini bisa diredam untuk waktu yang belum ditentukan..

Berhasil mengganggu Bapak menulis seharian.. Hahaha.. *tertawa puas* Gak berani ganggu Ibu, nanti disambit piring.. :)))) 

Dikangenin kalau gak ada, ditinggal kalau dikunjungi. Ckckck.. Kesimpulan mendatangi rumah orang tua..

Rutin ditanya, "Jadi kapan sidangnya?". Serius! Dalam sehari ada mungkin 3 kali pertanyaan ini muncul. 3 dari Bapak, 3 dari Ibu.. *kabur*

Ternyata berkecimpung di dunia pendidikan itu benar-benar tidak mudah..

Dimarahi Ibu.. (Ibu saya kebetulan mudah marah tapi mudah baiknya.. Jadi, jangan diambil hati kalau dimarai Ibu, didengar saja.. Kadang (sering sih) yang dimarahi itu memang perlu dimarahi kok.. Hehehe..)

Adik saya nampaknya sedang kangen-kangennya sama Ibu Bapak dan situasi ini tanpa sengaja termanfaatkan dengan adik dititah Bapak menyumbang printer ke TK di rumah. Huakhahahaha... Nice strategy, Bapak!

Perbaikan gizi. Makan rutin 3 kali sehari. Menu spesial: Ikan cakalang dari Manado!! Hehehe..

Bahwa hasrat belajar (memakai kata dari Nda) itu dapat membuat kondisi seberat apapun menjadi mudah. Buktinya adalah Mbak Dewi yang baru saja selesai ujian persamaan Paket C.

Hmmmm.. Mempelajari banyak hal baru tentang keluarga. Berpikir banyak tentang satu hal. 

Pulang ke Sukagalih dalam keadaan lapar dan tidak ada makanan di rumah, setelah dua jam perjalanan. Hehehe.. 

Memahami satu hal tentang diri, ternyata saya ini cukup MANJA! Huakhahahaha...

Sip ah..

~ Mona Luthfina

9.7.12

Santan

Di antara randomnya pembicaraan kami (saya, Ibu, dan Bapak) tadi malam adalah ketika Ibu tiba-tiba berkata:
"Dulu itu, orang kalau butuh santan harus manjat pohon kelapa dulu, ambil kelapanya, dikeluarin airnya, dibesek kulitnya, dipotong batok kelapanya, diparut, diperas hasil parutannya, baru dapat santan.
Kemudian, orang kalau butuh santan harus beli buah kelapanya, dikeluarin airnya, dibesek kulitnya, dipotong-potong batok kelapanya, diparut, diperas hasil parutannya, baru dapat santan.
Kemudian, orang kalau butuh santan tinggal beli batok kelapa yang sudah dipotong-potong, diparut sendiri, diperas hasil parutannya, baru dapat santan.
Kemudian, orang kalau butuh santan tinggal beli hasil parutannya (kelapa parut), lalu diperas kelapa parutnya, baru dapat santan.
Sekarang, orang kalau butuh santan tinggal beli Kara (santan yang sudah dikemas rapi)."
Saya benar-benar tidak tahu mengapa tiba-tiba Ibu saya panjang lebar menjelaskan ini karena setelah itu Ibu saya bercerita tentang hal random lainnya lagi. Ckckckck...

Walaupun pada akhirnya saya mengerti darimana asal mula topik random ini muncul. Malam tadi, kami makan malam dengan mangut ikan cakalang. :)

~ Mona Luthfina

P.S. Mangut itu makanan khas Jawa Tengah yang dibuat dengan ikan asap sebagai bahan utamanya dengan kuah santan. Biasanya ikan tongkol atau ikan pe yang diasap (kalau di Semarang sih ya.. ini juga kata Ibu). Kebetulan kemarin Ibu bawa ikan cakalang asap dari Manado, jadi mangut yang semalam dimakan itu menggunakan ikan cakalang nun jauh dari Manado.

P.P.S. Ibu saya kalau bercerita memang suka random dan penuh ketiba-tibaan, loncat sana sini, dalam sejam entah berapa topik yang bisa dibahas dan beliau selalu memaksa kami untuk mendengarkan. Huakhahaha..

7.7.12

Preambule


Tetiba teringat saat upacara hari Senin pagi di SD/SMP/SMA. Selalu ada sesi pembacaan Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila. Terpikir bahwa Para Bapak Pendiri Bangsa (tak adakah Ibu Pendiri Bangsa?), memiliki konsep yang luar biasa dan sederhana akan sebuah bangsa. 

Adakah generasi muda sekarang yang dapat merumuskan paparan Pembukaan semacam ini lagi? Setiap kata dan kalimatnya mengandung pemikiran dan perenungan yang dalam dari para perumusnya. Sepertinya membutuhkan wawasan yang luas dan pikiran yang terbuka untuk merumuskan kalimat-kalimat yang selalu relevan di segala generasi. Menarik.
Undang-Undang Dasar 1945
Pembukaan
Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. 
Dan perjuangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Apakah kita sebagai warga negara Indonesia sudah merasa terlindungi, sejahtera, cerdas, dan merasa dunia tertib dan damai?

~ Mona Luthfina

5.7.12

Kamis Meringis: 5.7.2012

Membuat janji pada diri sendiri untuk mempersering diri menulis di blog ini. Kali ini menulis untuk menjaga mood menulis untuk tetap stabil. Hehehe..

Let's see..
Tetiba tertarik pada Kimbra dan Labrinth,
I'm waiting for Joss Stone's new album,
and loving P!nk's new single, Blow Me (One Last Kiss). 


Bapak baru pulang setelah pergi dua minggu, Ibu sedang ke Manado, adek kehilangan jam tangannya. 
Hari ini belanja bulanan terakhir sebelum puasa, melupakan mentega.
Menghabiskan hampir Rp 250 ribu untuk lampu, gembok baru, dan duplikat kunci. Baru kali ini membayar duplikat kunci yang lebih mahal daripada gemboknya.. Har.. Har.. Har..

Memasang 5 lampu sendiri, bahkan mengganti dudukan lampu di kamar mandi atas sendiri (yupe, mulai dari matiin aliran listrik, menyusun dua meja + satu kursi, bermain dengan obeng, mengatur ulang kabel tembaganya, dan memastikan lampu nyala). Hell yeah, pencapaian bangetlah (untukku paling tidak). Sedikit membuat diri merutuki mengapa tidak ada lelaki di rumah. Hehehe..

Speedy hari ini sedang moody. Jadi nampaknya saya memutuskan untuk mematikan laptop saja.

..dan tumben-tumbenan jam segini saya sudah mengantuk (21.53 WIB).

Sekian.

~ Mona Luthfina

P.S. Kamis Meringis cuma judul yang saya pilih secara iseng. Siapa tahu jadi kolom tetap. Hehehe..

4.7.12

#DKI1

Picture credit: as noted on the pic :)
Seminggu lagi pemilihan kepala daerah DKI Jakarta akan dilaksanakan. Saya tidaklah pernah numpang hidup di Jakarta, tidak pula punya KTP Jakarta, apalagi hak pilihnya. Hashtag #DKI1 lagi sering memenuhi timeline Twitter saya. Jadi untuk apalah saya peduli?

Saya sering menganalogikan negeri ini sebagai suatu bentuk keluarga, dengan DKI Jakarta sebagai kakak pertama. Indonesia sedang krisis kepemimpinan. Wacana yang begitu sering terdengar. Lebih banyak saya memutuskan untuk bersikap ignorant atas wacana ini. Indonesia memang membutuhkan pemimpin, pemimpin yang mengajak semua yang dipimpinnya untuk bekerja bersama. Indonesia akan berubah menjadi lebih baik jika semua warga Indonesia peduli dan mau berubah. Berhenti menjadi manja dan cuma bergantung pada satu dua orang di puncak pimpinan untuk kemudian dicela dan dimaki. 

Maka kembalilah saya ke Pilkada Jakarta. Saya merasanya dan memang begitu adanya, Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta adalah posisi strategis dan sangat basah. Seperti kakak pertama di keluarga besar, suara si sulung ini suara yang paling didengar oleh kedua orang tuanya (percayalah, sebagian besar orang tua lebih mendengar pendapat si sulung dibanding bungsu. That's the privilege we get. Hehehe..). Seperti sulung atau kakak pertama lainnya, dia akan menjadi salah satu role model adik-adiknya, di sini, role model provinsi-provinsi lainnya.

Jika kakak pertama bejat, akan menambah probabilitas adik-adiknya bejat dan ignorant. Seperti dalam keluarga besar lainnya, kalau ingin mengubah suatu keluarga besar, salah satunya adalah dengan mendekati kakak pertama.

Cukuplah dengan analoginya. Intinya, pilkada DKI Jakarta, mau tidak mau, iri tidak iri, memang pilkada paling penting di Indonesia. Pilkada ini akan menentukan bagaimana Indonesia ke depannya. Bagaimana tidak. Semua elemen penting yang mengatur Indonesia ada di Jakarta, kalau Jakarta-nya sendiri menjadi tempat dan provinsi yang nyeleneh, mau bagaimana para elemen penting itu menentukan Indonesia? Nyeleneh juga?

Berhubung saya tidak berhak untuk memilih minggu depan, saya cuma bisa berdoa para Jakartans meluangkan waktu dan otaknya untuk memikirkan pilihannya. Saya berharap, the Jakartans memilih dengan hati dan otak, bukan dengan dompet. :)

Selamat memilih, Jakartans!

~ Mona Luthfina

P.S. Kalau saya seorang Jakartan, saya akan memilih mereka.

P.P.S. Kalau DKI Jakarta itu kakak pertama, kakak keduanya siapa yah.. Jawa Barat? Jawa Timur? Kakak keduanya kembar? Hehehe..

P.P.P.S. Kalau orang Jakarta disebut Jakartans, orang Bandung apa? Bandungers? Bandungans? :))))

3.7.12

Mahasiswi S2 Teknik Perminyakan (Part 2)

Langit dari depan Gedung Teknik Perminyakan
Dua tahun sudah saya kuliah di S2 ITB Teknik Perminyakan. Saya pernah menulis dasar pilihan saya sekitar 1.5 tahun yang lalu. Setelah 1.5 tahun, apa yang terjadi?

Tahun pertama saya lalui seperti orang zombie. Hidup segan, mati tak mampu. Dengan dua nilai E di Semester pertama (bukan sesuatu hal yang patut dibanggakan, tapi penuh dengan pelajaran), membuat saya harus mengambil salah satu keputusan penting dalam hidup saya. Mengundurkan diri dari pekerjaan.

Semester 2 berjalan dengan merangkak, masih tak mengerti apa yang saya pikirkan. Namun, alhamdulillah nilai jauh lebih baik. Semester 3 adalah titik balik dalam kehidupan per-S2-an saya. Sedikit demi sedikit saya merangkak dan mengejar, walau tetap tidak semantap teman-teman saya, akhirnya saya menemukan poin-poin menarik yang dapat membuat kuliah menjadi sedikit banyak menyenangkan. Dua nilai E saya akhirnya terhapuskan di semester ini.

Saya mengundurkan diri dari pekerjaan saya di Semester 3, dengan berbagai pertimbangan yang Insya Allah matang saya pikirkan. Keputusan ini saya ingat adalah salah satu dari sedikit keputusan penting yang membuat hati saya terasa sangat ringan. :)

Selalu ada penyesalan dan banyak pelajaran yang saya ambil dari kedua masa studi saya di ITB (S1 dan S2). Tapi secara keseluruhan, saya senang dengan rangkaian pengambilan keputusan yang saya ambil. Konsekuensi dari setahun pertama kuliah seperti zombie (kuliah dengan 1/2 hati) salah satunya adalah baru bisa bersosialisasi dengan teman seperkuliahan di tahun kedua. Terlambat memang, tapi cukup bisa dikejar (sepertinya sih :P). Bertemu dengan sekumpulan orang yang memiliki karakter-karakter yang jauh berbeda dibanding teman S1 atau teman kantor. Para abang, mas, dan mbak. Pertemanan penuh dengan asap rokok dan kopi. Tidak, saya tidak merokok, tapi saya jadi penikmat kopi instan akut. Hehehe..

SKS kuliah saya sudah habis, IPK akhir saya bisa dikatakan lumayan, sesuai dengan berbagai konsekuensi dan keputusan yang saya ambil. Apa yang membuat saya bertahan dan dapat melalui semua SKS kuliah? Murni logika. Saya berterima kasih pada 4 tahun kuliah S1 Teknik Industri untuk itu. Jika saya tidak punya logika, saya tidak tahu bagaimana saya bisa mengejar para abang, mas, dan mbak di Teknik Perminyakan. 

Sekarang tinggal 6 SKS thesis yang harus saya selesaikan. Seperti sindrom anak tingkat akhir pada umumnya dan sindrom deadliner akut, sampai saat ini saya masih bimbang mengambang dengan thesis saya yang ternyata banyak dan agak rumit (sepertinya).

Kendala pertama adalah teman diskusi. Sebagian besar teman saya tidak tertarik di bidang kebijakan dan/atau ekonomi energi, sebagian besar dari diri saya merasa tidak percaya diri untuk memulai diskusi lebih karena saya merasa belum cukup membaca dan mengejar tentang ilmu ini.

Kendala kedua adalah kemampuan membaca. Seringkali sudah saya ungkapkan bahwa saya mengalami degradasi kemampuan membaca, sementara untuk menguasai topik kebijakan energi, saya harus buanyaaak membaca. 

Terakhir, kendala terbesar. Kendala terbesar bagi saya (dan sebagian besar anak tingkat akhir) adalah diri sendiri. Thesis adalah sesuatu hal yang swa-pengaturan, swa-pengelolaan, swa-pengembangan motivasi. Semua sendiri. Saya hanya dapat bergantung terutama pada diri sendiri. Diri sendiri selalu menjadi kendala terbesar.

Jadi, siapapun yang sedang berniat dan akan mengambil jenjang pendidikan selanjutnya, seperti semua keputusan besar dalam hidup, keputusan ini tidak akan lepas dari konsekuensi. Semakin tinggi jenjangnya, semakin banyak faktor swadaya dan swa-tanggung jawabnya yang menjadikan keputusan ini akan menjadi semakin menantang tapi juga semakin menarik untuk dijalani. :)

Satu per satu, Mona. Kendala itu akan selalu meningkat dari masa ke masa, karena kemampuan kita untuk menyelesaikannya pun akan semakin meningkat. Allah itu Maha Besar dengan segala rencana-Nya.

Bismillah..

~ Mona Luthfina

Andani, Ibu, dan Hot Mamas

Tidak sampai seminggu yang lalu saya bertemu dengan salah seorang Hot Mama di TI 2003. Andani Agniputri (Dani). Hehehe..

Sebelumnya, saya tidak pernah ngobrol berdua dalam waktu lama dengan Dani. Kami jarang berada di social loop yang sama. Seperti yang sering kami deklarasikan, TI ITB 2003 itu terkotak-kotak tapi satu jua. Namun setelah semua berhasil lulus, kotak-kotak itu hilang dan social loop TI ITB 2003 menjadi satu loop saja yang terdiri dari 128 individu berbeda.

Singkatnya, cukup menarik mendapati saya membuat janji dengan seorang Andani. :P

Dani, suami (Fadli), dan jagoannya, Caesar Kirano Rahman (a.k.a. Kecal) sedang liburan di Indonesia. Per Agustus ini Dani ambil S2 di Amerika. Kecal usianya sudah setahun dan sudah bisa ditinggal kuliah. Dalam dua jam ngobrol ngalor ngidul di Tree House, Dago, Dani bercerita tentang kehidupannya sebagai Hot Mama (okeh, "Hot" ini murni tambahan dari saya.. Hehehe..). 

Dari obrolan itu saya menangkapnya begini.. Kehidupan sebagai seorang Ibu di setahun pertama nampaknya adalah pekerjaan rutin yang seringkali membuat seorang wanita lupa mengasah otaknya. Tidak berarti menjadi seorang Ibu membuat wanita lupa kalau dia punya otak. Jelas, untuk menghasilkan manusia baru yang cerdas membutuhkan Ibu yang cerdas. Tapi dalam hal ini kita berbicara tentang kemampuan otak secara detail. Kemampuan otak untuk menghitung, menganalisis, dan menyelesaikan masalah-masalah pragmatis. Otak kuliah banget deh.. :)

Jadi, yang seorang Dani lakukan adalah setelah semua haru biru kehidupan mengasuh anak selesai dan Kecal sudah tertidur di buaiannya, Dani akan melakukan apapun untuk membuat otaknya bekerja. Semisal, belajar software Solidworks dan sampai mendapatkan sertifikasi dengan nilai 100%. Huakhahaha.. Apapun dipelajari demi menjaga otak untuk selalu terpakai. 

Ini menarik untuk saya, karena bahwa ternyata menjadi Ibu tidak berhenti di mengurus anak dan mempersiapkan anak untuk menjadi yang terhebat. Menjadi Ibu itu seharusnya tidak membuat seorang wanita melupakan bahwa sebelum menjadi Ibu, dia adalah seorang wanita, wanita yang mandiri, cerdas, dan mempunyai kemampuan yang seringkali melebihi pria di sekitarnya. Menjadi seorang Ibu yang hebat itu tidak selalu berarti mengorbankan diri sebagai wanita dan sepenuhnya melayani kebutuhan sang anak. Menjadi Ibu yang hebat itu memiliki pemahaman salah satunya bahwa jika seorang wanita mengerti apa yang dia butuhkan, dia inginkan, dan dia mimpikan, maka dia akan tahu apa yang terbaik untuk anaknya. Sehingga, wanita itu dapat memberikan kemampuan terbaiknya sebagai seorang wanita untuk menjadi Ibu yang hebat. Untuk menghasilkan anak-anak yang hebat, jadilah Ibu wanita yang hebat terlebih dahulu.

Ibu dan Albert Enstein di Madame Tussaud, Hongkong
Ah.. Menjadi seorang Hot & Smart Mamas di dunia ini tidaklah mudah, teman. Begitu banyak pengorbanan dan penyesuaian yang harus dilakukan. Ibu saya pun Ibu yang hebat karena membesarkan saya sembari terus menjadi dokter yang hebat. Salut untuk para Hot & Smart Mamas di dunia yang bisa menjaga keunggulan dan kemampuannya sebagai wanita yang mandiri sambil tak melupakan fitrahnya sebagai seorang Ibu dan istri yang baik. 

Ternyata jalan menuju Ibu yang cerdas itu memang penuh tangis dan darah, literally.

Untuk Ibu saya tercinta, Andani, dan semua Ibu hebat di dunia. Salut!

~ Mona Luthfina