22.7.11

Menjadi Besar karena Kecil

Selamat Pagi! Selamat hari Jumat!

Pagi ini saya melewatkan waktu saya untuk melakukan hal yang sudah lama tak saya lakukan. Belajar. Belajar untuk saya adalah membaca atau menonton atau mencari berita atau cerita tentang banyak hal di dunia. The Curiosity Mona ternyata masih belum hilang. Alhamdulillah.. Hehehe..

..dan saya bertemu dengan video ini.


Sekedar rekap, videonya tentang keseharian Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-Moon, menjalani harinya ketika mempersiapkan The 2010 General Assembly

Entah mengapa, video ini membuat saya sedikit emosional (tears brimming in my eyes, yeah melow Mona). Saya yang sedang gamang ini (hayaaaahh...), ingat kembali salah satu hal yang membuat saya bersemangat, yaitu manusia. Bingung? Sama.. Huakhahahaha..

Apa yang ada di bayangan saya ketika menonton video adalah begitu banyaknya orang di PBB sana, dari berbagai negara dengan berbagai budaya dan karakter berkumpul untuk membahas isu-isu penting di dunia. Kepala negara dan kepala pemerintahan dari berbagai negara itu menyampaikan suaranya. Tapi bukan itu yang membuat saya sedikit emosional (yeah right), tapi orang-orang di balik layarlah yang membuat saya berpikir. 

Ada berbagai isu yang dibahas, dari mulai kemanusiaan, lingkungan, ekonomi, habla habla.. Cuma, apa yang terjadi kalau pada saat pembahasan isu-isu penting itu penerjemah bahasa Jepang tiba-tiba salah mengartikan. Atau asisten dari Presiden Somalia salah kasih bahan pidato atau listrik tiba-tiba mati atau ada tikus lewat (ok, ini mulai berlebihan, Mona).

Maksud saya, apa yang membuat saya tertarik dengan video ini, bukan hanya kesibukan orang-orang besar dan berpengaruhnya, tapi juga semua orang di balik layar yang walau mungkin dia tidak berpikir apa yang dilakukannya berpengaruh besar terhadap dunia, tapi sebenarnya berpengaruh.

Seseorang menjadi besar tidak mungkin jika tidak ada orang-orang kecil dibaliknya. Suatu pekerjaan besar, tidak mungkin selesai dengan sukses jika tidak didukung oleh kesuksesan pekerjaan-pekerjaan kecil di dalamnya. Seringkali kita berpikir terlalu luas terhadap suatu hal padahal yang sebenarnya harus dipikirkan justru hal sederhana di depan mata. Rumitisasi di saat harusnya masalah sebenarnya sangat sederhana. Asal kita bisa mengidentifikasi apa akar dari masalah itu.

Seringkali, saya (dan sebagian besar manusia lainnya) berpikir sempit dalam melihat sesuatu. Misalnya, dalam pekerjaan, malas minta ampun untuk membuat laporan proyek. Jika dipikir lebih luas, laporan yang saya buat itu bisa memberikan dampak untuk banyak orang sekaligus, tanpa disadari. Tidak berarti apa yang saya lakukan menjadi sangat besar dan wah (benar-benar sesederhana membuat laporan). Tapi kita sering lupa bahwa apa yang kita lakukan berpengaruh terhadap orang lain. Berpikir sempit dan egois, hanya melihat apa yang kita ingin kita lihat. 

Walaupun saya kagum dengan hal-hal besar, orang-orang besar, ide-ide besar, dan iri pada mereka, pada dasarnya dari dulu saya adalah orang yang simple-minded. Saya ingat bahwa saya orang yang biasa berpikir, "Eh, jangan ngeremehin hal-hal yang kecil dong, it really does matter!!"

Tidak berarti saya meremehkan hal-hal besar, orang-orang besar, dan ide-ide besar. Please deh.. Jelas-jelas besar, mana mungkin diremehkan. Saya hanya memilih tidak mengambil peran di situ. Karena saya rasa saya lebih cocok di hal-hal kecil itu. Manusia kecil (tidak secara harfiah, hehe..) di belakang layar yang mungkin melakukan hal rutin dan remeh di mata banyak orang, tapi jika si manusia kecil itu tidak ada, tidak akan ada manusia besar (bukan pula secara harfiah :P). 

Ketika kita melakukan apapun dengan sebaik-baiknya, tanpa disadari apa yang kita lakukan itu mempengaruhi orang lain. Kalau semua orang di dunia menyadari bahwa setiap manusia memiliki pengaruhnya sendiri di lingkungan dan di dunia, nampaknya dunia akan menjadi dunia yang lebih tenteram dan nyaman.

Saya ingin menjadi seseorang yang berada dibalik orang yang hebat. Mendukungnya dengan melakukan hal-hal remeh dan kecil, sehingga ide besarnya bisa menjadi sesuatu yang besar, hebat, dan berpengaruh bagi orang banyak. Saya pernah bilang (di milis angkatan saya dan kepada sahabat saya) bahwa cita-cita saya menjadi ibu dari orang yang hebat. Terkesan muluk dan ngawang mungkin atau pernyataan yang main-main (saya pun sedikit banyak merasa seperti itu). Tapi hari ini, karena satu video sederhana, saya mengerti bahwa cita-cita itu tidaklah muluk, ngawang, dan jelas bukan pernyataan yang main-main.

Tinggal bagaimana mencapainya.. :D

Kembali ke video yang membuat saya berpikir. Ban Ki-Moon, jelas adalah orang besar dan hebat. Banyak orang besar dan hebat di dunia ini. Pemimpin-pemimpin besar dan hebat yang berpikir untuk jutaan orang sekaligus dengan ide-ide besarnya. Dulunya mereka adalah manusia kecil yang melakukan hal kecil didukung dan dipercaya oleh manusia kecil lainnya sampai menjadi besar seperti saat ini.

Kecil di hadapan dunia tidak berarti kecil di hadapan Tuhan. Ya, mungkin begitu adanya, Mona..

"A person is a person, no matter how small." ~from Horton Hears a Who

Ah, senangnya pagi ini..

~ Mona Luthfina

P.S. Sejak lama saya mencari buku biografinya Ban Ki-Moon. Ada gak sih?

12.7.11

Takut Akan Angka

Disclaimer: Postingan ini agak sendu dan gelap, jika sedang tidak ingin ikut gelap dan sendu, silakan ditutup. :)

26

Saya tidak pernah menyangka bahwa angka ini akan menjadi angka yang mengerikan. 

Dalam hitungan hari status usia saya akan berubah menjadi 26 tahun dan beberapa hari lalu angka ini baru menyesap di pikiran dan hati saya. Ok Mona.. Kalimatmu membuatnya menjadi dramatis. Huakhahaha..

Tapi, iya juga sih.. Tak sampai seminggu lalu saya bertemu dengan seseorang yang kebetulan adalah anak angkatan bawah saya di TI. Obrolan standar dilakukan, "Abis lulus mau ngapain?", "Dulu lab mana?", "Kenal ini dong? Kenal itu dong?" sampai obrolan-obrolan, "Anak 2003 X udah punya anak sekarang.. Yang ini juga.. Yang itu juga..." 

Jawaban saya atas pertanyaan sederhana si teman inilah yang membuat saya merasa dramatis menyesapi kengerian angka 26. Hayah..

"Kok, anak 2003 udah banyak yang punya anak mbak?"

Saya menjawab, "Ya wajarlah.. Kami rata-rata udah 26 tahunan gitu..."

Hohohohoho.. And the reality is becoming real! Hehehe..

Waktu jelas tidak pernah berkenan untuk melambat ya.. Kehidupan selama setahun ini berkelebat di pikiran saya. "Mona, kamu ngapain aja sih?"

Saya tidak pernah merasakan masa yang lebih menakutkan dibanding setahun ini. Takut akan masa depan, takut akan masa kini, dan takut akan masa lampau. Biasanya, saya tidak terlalu berpikir banyak di pergantian usia. Karena toh, saya pikir, jadilah orang baik setiap saat. Dari dulu orang tua saya selalu mendidik dan mendoakan saya untuk jadi anak yang baik dan shalehah. Tapi sampai saat ini pun saya masih gamang dengan "anak yang baik dan shalehah" itu seperti apa. (Ibu Bapak, please doainnya lebih detail dong.. Heuheuheu..) 

25 tahun saya belajar jadi manusia, saya merasa saya pada akhirnya tahu mana yang baik dan mana yang tidak baik. Tapi banyak hal di tahun ini yang membuat saya meragukan batas baik dan tidak baik yang saya miliki. Pada akhirnya, saya merasa tidak menjadi orang yang baik. Maka itulah saya menjadi takut.

Tak hanya itu yang menakutkan, hidup di masyarakat yang menuntut suatu capaian di suatu masa yang berhubungan dengan status, pendidikan, keuangan, dan pola pikir jelas membuat pikiran sendiri. Saya tidak biasa terlalu banyak memikirkan apa kata orang, tapi hidup sendiri jelas membuat saya banyak berpikir tentang apa kata orang. (Untuk orang yang haus hubungan sosial dan afeksi macam saya, hidup sendiri membuat saya menjadi semakin haus perhatian, jelas dan membuat saya menjadi lebih berpikir tentang apa yang akan dan atau sudah dipikirkan oleh orang lain).

Saya tidak bisa tidak merasa harus dewasa walaupun saya tahu kedewasaan tidaklah diukur dari umur. Tapi ada aturan-aturan tak tertulis bernama norma sosial yang membuat saya harus merasa dan berperilaku dewasa walau saya masih ingin bermain-main. Walau tidak ingin, tanpa sadar saya terkekang sendiri oleh angka 26. Ahhhhhh.... Mumet...

Padahal, saya sendiri masih tidak berani untuk melangkah lebih jauh. Misal saja tentang menikah. Siapa yang tidak ingin, usia sudah cukup, gelar "masih bodoh" dari Ibu pun sudah dicabut, habla habla.. Tapi untuk memikirkan hal itu pun, saya masih "Aaaarrrgghhhh.. haruskah dipikir sekarang.." seperti saya sudah tidak punya waktu lagi. 

Belum lagi rencana-rencana masa depan. Seperti "Abis S2 mau apa?", "Rencananya gimana tahun depan?". Saya tidak terbiasa untuk membuat rencana jangka panjang. 10 tahun? 5 tahun? Tidak tahu. Bulan depan saya mau melakukan apa saja saya tidak tahu. Saya si manusia harian, hidup di masa kini, menyesal untuk hari kemarin, dan bermimpi untuk hari esok. Terkesan tidak stabil, tapi keadaan membuat saya (dipaksa) terbiasa hidup di ketidakstabilan. Walaupun saya tahu, pada suatu masa harus ada titik stabil yang saya ambil. Tapi saya masih tidak tahu kapan itu, dimana itu, dalam kondisi apa itu, dan apakah harus saya pikirkan sekarang? Ya, saya pun tahu pada akhirnya harus saya pikirkan juga. Tapi, haruskah sekarang?

See, how a number can make you feel very desperate?

Jadi, apa kabar Mona? Inilah kabar saya.. Sedang ketakutan akan sebuah angka, tidak yakin pada diri sendiri, dan mengakui bahwa semakin ke sini semakin jauh dengan Sang Pencipta. 

Apa yang dirasakan? Ngeri, takut, dan tidak pernah merasa lebih kesepian dari saat ini. Ya Allah apa yang harus kulakukan? Susahnya hidup dengan hati lebih besar dari otak.. Emosi berbicara, nafsu yang bertindak. Huyaaaaa...

~ Mona Luthfina

P.S. Wow, postingan yang gelap.. Maaf jika ada yang merasa menjadi gelap dan sendu..