28.10.09

Seperti Katak di Bawah Tempurung

Menurut J.S. Badudu dalam Kamus Peribahasa (Penerbit Kompas, April 2008), peribahasa di atas diartikan sebagai berikut:
Katak diumpamakan dengan seseorang yang picik dan bodoh. Karena kepicikan dan kebodohannya, katak itu menyangka bahwa bulatan tempurung yang menyungkupnya itu adalah langit. Oleh sebab itu, orang yang picik, yang kurang luas pengetahuannya karena kurang bergaul atau karena terlalu lama tinggal di dusun, dikatakan “seperti katak di bawah termpurung”.

Kenapa teringat peribahasa ini? Karena salah satu sepupuku mengatakannya. Dia sedang bercerita tentang pilihannya ambil S2 di kota lain, karena banyak lulusan dari universitasnya dulu (S1) yang jago kandang, merasa bahwa universitas lain itu tidak lebih baik. Dia berkata, “Aku gak mau jadi seperti katak dalam tempurung, mbak..” dan aku pun terngiang-ngiang peribahasa itu semalaman. Hehehe..

Ok, aku dan pemuda Indonesia saat ini adalah bagian dari generasi yang lahir di tahun 80 dan 90-an (menurut RUU Kepemudaan, kriteria pemuda berada pada rentang usia 16 – 30 tahun). Kami generasi yang pragmatis, apolitis, mandiri, produktif, melek teknologi, optimis, dan kurang peduli terhadap persoalan di luar dirinya (Jejak Pendapat Kompas, Kompas cetak 26 Oktober 2009). Generasi mbahku adalah generasi pejuang, generasi ayahku adalah generasi pembangun, dan seharusnya generasiku adalah generasi penjaga. Lalu, apakah generasi kita pantas untuk menjadi penjaga Indonesia?

Sebagian besar hidupku dilewati dengan mengikuti arus. Masuk sekolah karena pada umumnya anak Indonesia juga bersekolah. Lulus SMA langsung kuliah karena sebagian besar anak Indonesia setelah SMA itu ya kuliah. Lulus kuliah cari S2 atau kerja karena sebagian besar lulusan kuliah ya kerja atau S2. Ikut-ikutan bermimpi untuk S2 karena semua orang (a.k.a teman-teman) bermimpi untuk S2. Mengejar karir untuk mencari uang banyak untuk usaha karena semua teman bermimpi seperti itu. Benar-benar standar.

Bapak dan Ibu selalu mementingkan agama dan pendidikan untuk kedua anaknya. Bapak pun selalu memotivasi anak-anaknya untuk membaca, belajar, traveling (bukan jalan-jalan), cari teman baru, silaturrahmi (maintaining old friends), mengobrol, dan menambah wawasan. Memang, Bapak pun seseorang dengan wawasan yang sangat luas. Sedari kecil, aku selalu dididik untuk menjadi manusia yang senang menambah wawasan, manusia yang cinta akan pengetahuan. Didikan itu cukup berhasil. Aku ini si orang yang ingin tahu segalanya. Huakhahaha…

Yang tidak aku sadari (sebenarnya sadar, tapi memilih untuk pura-pura tidak sadar =D) selama ini adalah..

Dalam proses mencari pengetahuan itu, aku selalu terlarut dalam arus deras pemuda generasiku, sehingga aku tanpa sadar mengisolir diriku dari keluasan pengetahuan itu sendiri. Hanya terfokus pada mengikuti apa yang orang lain lakukan. Sampai detik ini pun, aku masih berpikir bahwa aku harus bekerja keras, cari uang banyak, ambil S2, nikah, punya anak, mati, dan masuk syurga (standar, std, gak kreatif).

And here I am, someone with idealistic dreams but no courage to begin a single step.

Seperti katak di bawah tempurung. Merasa tempurung adalah langit. Huakhahahaha.. Kalau peribahasa ini diterapkan dalam hidupku dengan aku si kataknya, berarti Bandung adalah duniaku, teman-temanku saat ini adalah semua temanku (tidak tambah lagi), mengejar karir dan S2 adalah mimpiku, dan ITB adalah langitku (tsah…).

Yupe, tanpa aku sadari dan mungkin (tapi kayaknya iya deh, bukan mungkin.. kan Mona si sok tahu segalanya) sebagian besar pemuda Indonesia sadari, kita sudah menjadi generasi katak di bawah tempurung. Tempurungnya antara lain adalah fashion, trend, Facebook, Twitter, Yahoo Messenger dan semua bentuk teknologi lainnya. Generasi dengan segudang fasilitas untuk berkembang dan memperluas pengetahuan namun tidak memaksimalkan fasilitas itu untuk berkembang. Mengaku pintar, mandiri, sukses, dan melek teknologi namun tanpa sadar bahwa yang disebut pintar, mandiri, sukses, dan melek teknologi itu ya cuma sebatas trend sesaat atau semu belaka.

Berita buruknya (atau malah baik, terserah sudut pandang masing-masing, tapi kupikir sih hal ini berita buruk) masa depan bangsa Indonesia yang sedang berbenah ini ada di tangan kami, generasi katak yang tidak sadar bahwa mereka masih di bawah tempurung. Tempurung semu yang merintangi kita untuk mengembangkan otak, hati, dan jiwa. Ada berapa banyak sih pemuda Indonesia yang peduli dengan kondisi ekonomi global, atau didudukinya kota Taliban di Pakistan (Kompas cetak 27 Oktober 2009, tsah, si Mona sombong), atau kenapa kabinetnya SBY disebut kabinet pelangi, atau kenapa negara kita ini tidak lagi menjadi negara maritim, atau bahkan berapa banyak sih pemuda Indonesia yang menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar pada percakapan sehari-hari? FYI, untuk pertanyaan terakhir aku sih jawabannya tidak (bercakap-cakap dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar setiap saat). Lalu coba tanyakan lagu terbaru di Inbox SCTV, mode terbaru di majalah, acara reality show terbaru, tipe handphone terbaru, status Facebook si artis ini, Twitter-nya si itu, mau nongkrong dimana nanti malam, dsb, dsb.. pasti akan selalu ada jawabannya..   

Huakhahaha.. ironis dan skeptis sekali diriku ini..

Apakah statement-ku benar? Tanyakan saja pada diri sendiri, wahai para pemuda Indonesia. Aku saat ini sedang berusaha memindahkan tempurung di atas kepalaku, mengubah kerangka berpikir terbatas yang sudah mencengkram otakku ini. Dimulai dengan menjalankan didikan Bapak Ibuku, yaitu terus belajar dan menambah wawasan, memberanikan diri untuk melakukan hal baru, bertemu orang baru, terus membaca, dan terus bermimpi. Kemudian mengurangi obsesi terhadap internet serta mulai membaca koran dan buku yang sudah menumpuk. Hehehe..

Work hard and pray hard.

Hidup pemuda Indonesia!! Selamat Hari Sumpah Pemuda ke-81 (28 Oktober 1928 – 28 Oktober 2009). Semoga kita semua, pemuda Indonesia, dapat menjadi pemuda Indonesia yang pantas untuk dipasrahi bangsa Indonesia yang besar ini. Amiiin.. 

 Oia, satu lagi pertanyaanku, berapa banyak sih di antara pemuda Indonesia yang menganggap mimpi “Menjadi Presiden” itu bisa menjadi kenyataan? Hehehe..

Sip ah..


~ Mona Luthfina

20.10.09

Sungkan

sung·kan a 1 malas (mengerjakan sesuatu); enggan: ia -- bekerja di kebun; 2 merasa tidak enak hati:ia -- menegur orang itu; 3 menaruh hormat; segan: ada perasaan -- dl hatiku thd guru itu;
ke·sung·kan·an n perihal sungkan; keengganan; keseganan: tidak banyak gagasan yg berkembang krn tebalnya - itu ~ KBBI Online (aku belum punya KBBI yang Edisi 4)

Salah satu sifatku kata banyak orang adalah sungkan dan saat ini "sungkan" adalah sifat terakhir yang kuinginkan.  Heuheuheu.. Saat ini aku membutuhkan keteguhan hati, konsistensi, dan kerajinan yang paling pol yang aku miliki untuk mewujudkan semua rencana dan semua mimpi. Kerjakan satu per satu, Mona. Wujudkan satu per satu. Insya Allah diberi jalan. Amiin... Work Hard, Pray Hard.

~ Mona Luthfina

P.S. I do love the planning, the dreaming, but do I love the "do the work" part? Haha..

15.10.09

Pengamen Profesional

Bapak pernah bilang, "Pengamen yang ok itu walaupun sudah dikasih uang, dia tetap bernyanyi sampai lagunya selesai.."

Kalau aku sih bilangnya pengamen profesional. Hehehe..

Setiap aku pulang kantor naik angkot malam-malam, di perempatan Flyover Cihampelas selalu ada pengamen yang naik. Pengamen itu akan ngegandol di pintu angkot dengan gitarnya, lalu bernyanyi sampai satu lagu beres. Biasanya sampai dia bisa turun di perempatan Cipaganti - Premier. Suaranya lumayan bagus loh.. Apalagi musim hujan kayak sekarang, dingin-dingin mendengar alunan tembang yang dibawakan oleh Mr. Pengamen, tsaaahh.. mantap berat.. Membuat 500 atau seribu perak keluar jadi tidak masalah..

Aku bukan tipe orang yang sering memberi pada pengemis atau pengamen di jalan, paling tidak, aku tidak sering memilih cara itu untuk bersedekah (aku bilang gini jadi riya gak ya?). Tapi kalau pengamen yang mampir di angkot macam pengamen profesional seperti yang aku bilang, hampir selalu aku ngubek-ngubek tas cari recehan (tetep pelit, cuma ngasih 500 perak aja bangga. Hehehe..). Buatku, alasan aku akan mengeluarkan 500 rupiah untuk pengamen bukanlah karena iba dengan kondisi mereka (dalam hal ini, aku mati rasa), tapi karena profesionalitas mereka. Bernyanyi dengan merdu komplit satu lagu menghibur para penumpang angkot. Yeah, walau aku baru bisa menghargai sampai 500 rupiah saja. Hehehe..

Begitulah.. Wahai para pengamen profesional, tetaplah bernyanyi, sehingga suatu saat nanti, kali aja ada produser musik lewat dan mendengar suara merdu kalian, eh, bisa diorbitkan deh.. Hehe..

Sip ah..

~ Mona Luthfina

10.10.09

Sang Putri untuk Indonesiaku

Dalam suatu obrolan di dunia maya (a.k.a ngobrol lewat YM) temanku berkata, “Mona, aku punya rahasia.”

Ok, gak ada yang istimewa dengan seseorang punya rahasia, namun sepertinya sang teman ini ingin sekali menceritakan rahasianya padaku (dan pada akhir obrolan dia bahkan dia semangat kalau aku menulis ‘rahasia’ ini di blogku. Huakhahaha..), yasudah, aku berkata,

“Rahasia apa?”

“Aku ikutan pemilihan Putri Jabar, Mon..”

Sedetik..

Dua detik..

Tiga detik..

Empat..

Lima..

Loh, kok keterusan.. tidur kali.. hehe.. gak ding..

Beberapa saat kemudian, “Haaaaaaaaaaaa?!?!?!? Ngapain?"

Perlu dijelaskan kenapa aku bisa bereaksi seperti itu. Jadi, temanku ini sama-sama anak TI ITB, seangkatan, dengan inisial huruf pertama N, akhirnya ANDA alias NANDA (gak pake I), biasa dipanggil Nance (huakhahaha.. tuh ce, aku tulis juga namamu) dan anak ITB ikutan beauty pageant (walau sebenarnya ada juga sih anak TI yang jadi Putri Jabar sebelumnya) itu agak bertolak belakang dengan keseharian yang jarang berdandan, dsb, dsb.

“Trus.. gimana, ce?”, sadar dari syok. Hehehe.. berlebihan mode ON.

“Trus yaa.. aku masuk lima besar, Mon.. dan 2 minggu lagi ikut karantina buat pembekalan..”

“Haaaaaaaaaaaaaaaaaa?!?!?!?!?” gak percaya pada apa yang terjadi, dengan kata lain sempat meng-underestimate cewek ITB pada umumnya dan Nance pada khususnya bisa lolos finalis Putri Jabar.

Reaksi selanjutnya adalah,

“Huakhahahahahahahaha…” (sambil guling-guling, tau kan emoticon-nya, yang nulisnya “sama dengan kurung tutup kurung tutup”)

“Iya, nanti Putri Jabar ini yang bakal dikirim ke pemilihan Putri Indonesia, Mon..”

“Haaaaaaaaaaaaaa?!?!? (ok, sudah mulai terlalu basi keseringan kaget, tapi emang antara percaya gak percaya sih..)

Seketika, otakku hibernating dari semua proses pekerjaan yang sedang dilakukan (ketahuan deh, chattingnya pas jam kerja. Hehehe..) dan fokus pada message box YM-an dengan Nance. Nance? Putri Jabar? Putri Indonesia? Miss Universe? Bikini? (kenapa kepikiran ini? Soalnya kalo ngebahas Miss Universe dan Indonesia, selalu identik dengan kontroversinya atas pemakaian bikini. Ok?) Lah, Nance kan pake kerudung? Trus gimana? Trus nanti resign gitu?

Lalu teringat, eh, kan baru finalis ya.. hehehe… Si Mona lebay..

Kemudian, obrolan dilanjutkan dengan bagaimana Nance bisa kepikiran ikut kontes Putri Jabar. Trus rencana pembekalannya kapan, dsb, dsb.

Beberapa minggu kemudian, lokasi: Kantin Salman, waktu: Jam Makan Siang.

“Nance, gimana Putri Jabarnya?”

“Monaaaa…. Tau gak sih..” (ok, aku sudah terbiasa dengan kalimat pembukaan seperti ini, artinya ada rahasia lain, hihihi..)

“Aku ditelepon panitia pemilihan Putri Jabarnya, katanya dari panitia pemilihan Putri Indonesia, aku gak boleh ikutan, jadi aku didiskualifikasi..”

“Haaaaaaaa?!?!” (sudah mulai bosan dengan kalimat pertanda kaget ini? Yeah, aku juga..)

“Kenapaa?”

“Gak dikasih tau alasannya, Mon.. tapi aku curiga karena aku pakai kerudung?”

“Seriusan karena itu alasannya? Ih, gak mutu banget… berarti bukan Putri Indonesia dunks… yaudah Nance, kamu terlalu berharga untuk ikutan kontes macam itu kalau memang itu alasannya..”, si Mona berapi-api karena kesal merasa temannya dizalimi..

“Aku gak tau benar atau gak alasannya itu, Mona. Tapi ya mungkin bukan jalannya Nance buat ikutan seperti ini..”

Ok, here my thoughts..

Seorang Nance yang aku kenal, sudah cantik dari sononya luar dalam tanpa harus ikutan kontes-kontes seperti itu. Memang pula, Nance ikut kontes itu karena iseng dan Alhamdulillah berhadiah. Walau pada akhirnya didiskualifikasi karena alasan yang tidak jelas, toh tak ada perasaan sesal. (Gitu kan, ce?)

Cerita ini sudah terjadi satu setengah bulan yang lalu kira-kira, Agustus tepatnya. Kita akhirnya sibuk masing-masing dengan urusan masing-masing dan tak teringatkan lagi soal kontes itu.

Sampai tadi malam…

Aku semalam nonton pemilihan Putri Indonesia, tidak dari awal, tapi pas sudah 5 besar. Salah satu finalis 5 besar yang terpilih menyatakan bahwa dia membuka kerudungnya, dengan alasan yang kusesalkan kenapa dia ungkapkan. Aku tidak peduli atau tidak kesal dengan fakta bahwa dia membuka kerudungnya hanya karena ikut sebuah kontes (bahkan jika nanti di kontes Miss Universe doski pakai bikini juga ane kagak peduli), itu urusan dia dengan Allah. Bukan urusanku. Yang aku sesalkan, yang aku kesalkan adalah alasan yang dia ungkapkan.

Kalau gak salah kutip,
“Mengapa saya membuka kerudung, karena saya merasa saya diberi mahkota (baca: rambut) yang indah dan sebaiknya dipamerkan. Saya sudah minta izin kepada Pemda untuk membuka kerudung saya, dan terima kasih atas dukungannya saya bisa ikut pemilihan Putri Indonesia.”

Dan dia pun masuk tiga besar… sebelum dia menjawab pertanyaan tiga besar, dia berkata,

“Saya tidak menyangka saya bisa masuk tiga besar, padahal saya sudah pesimis karena saya membuka kerudung saya. Ternyata saya bisa masuk tiga besar..”

dan kemudian, tahu sendirilah..

Sayang sekali mendengar jawabannya.. Memakai kerudung, jilbab, atau hijab, pada awalnya memang untuk memenuhi kewajiban. Tapi kewajiban tersebut adalah kewajiban seorang wanita kepada Tuhannya. Bukan kepada Pemdanya, atau kepada juri pemilihan Putri Indonesia. Jadi, kalau mau minta izin untuk membukanya, ya minta izinnya sama Allah dunks.. gitu sih pikiranku berkata…

Alasan yang dia ungkapkan, semua statement yang sang putri (yang perilakunya jauh dari seorang putri di mataku, karena ini) nyatakan, membuatku sedih. Apakah wanita Indonesia bisa diwakili oleh putri yang memberikan statement seperti itu? Atau apakah memang kami – perempuan Indonesia – memang seperti itu adanya? Seperti putri yang meminta izin pada Pemdanya untuk membuka kerudungnya karena ingin mengikuti sebuah kontes?

Apakah aku telah menjadi bagian dari perempuan Indonesia yang memakai kerudung hanya karena kewajiban? Semoga saja tidak..

Sigh..

Nance, kamu lebih pantas menjadi Putri Indonesia dibanding semua kontestan yang ada semalam. Kamu adalah Putri Indonesiaku… (wuih, ngeri dengan statement sendiri. Huakhahahaha…)

Eniwei, aku tidak berpikir sang putri yang membuka kerudungnya itu tidak baik di mataku? Tidak, sama sekali tidak. Aku juga tidak kesal dengan fakta dia membuka kerudung. Sekali lagi tidak. Aku cuma menyesalkan pernyataannya. Toh Sang Putri pasti pada dasarnya adalah orang baik dengan banyak kelebihan (makanya bisa jadi putri kan? Hehehe..). Tapi memang mungkin, kriteria seorang Putri yang mewakili Indonesia buatku, berbeda dengan kriterianya panitia pemilihan Putri Indonesia semalam. Hehehe..

Sip ah..

~ Mona Luthfina

P.S. Nance, janjiku lunas yaa..

7.10.09

It is real!!

"Tulis alasan dan goal tersebut dalam sebuah buku tulis, serta rutinlah membaca dan membayangkannya telah menjadi kenyataan setiap malam sebelum tidur. Mengapa sebelum tidur? Karena itulah waktu yang tepat agar gambaran/visualisasi yang Anda ciptakan dapat masuk ke pikiran bawah sadar Anda."
~ from some book..

Hmmm.. this is real, Mona. Kalau gak sekarang, kapan lagi? Kalau terus ditunda, kapan akan datang lagi? Pikirkan dan kerjakan dengan serius setiap harinya walau cuma setengah jam. Insya Allah yang kamu rencanakan akan tercapai. Amiiin..

~ Mona Luthfina

1.10.09

Grief

Lexie: Grief may be a thing we all have in common.. but it looks different on everyone.

Mark: It isn't just death we have to grieve. It's life.. it's loss.. it's change..

Alex: And when we wonder why it has to suck so much sometimes, has to hurt so bad.. the thing we gotta try to remember is that it can turn on a dime..

Izzie: That's how you stay alive. When it hurts so much you can't breathe, that's how you survive...

Derek: By remembering that one day, somehow.. impossibly.. it won't feel this way. It won't hurt this much.

Miranda: Grief comes in its own time for everyone.. in its own way.

Owen: So the best we can do... the best anyone can do... is try for honesty.

Meredith: The really crappy thing, the very worst part of grief, is that you can't control it.

Arizona: The best we can do is try to let ourselves feel it when it comes..

Callie: And let it go when we can.

Meredith: The very worst part is that the minute you think you're past it, it starts all over again

Christina: and always, every time... It takes your breath away.


Meredith: There are five stages of grief. They look different on all of us, but there are always five...
Alex: Denial
Derek: Anger
Miranda: Bargaining
Lexie: Depression
Richard: Acceptance

~ Ending Naration from Grey's Anatomy, Season 6, Episode 2 - Goodbye!

Untuk semua korban dari semua perkara (semuanya, bencana alam, gempa lama, gempa baru, gempa kemarin, gempa tadi pagi, banjir, longsor, tsunami, bencana sosial, perampokan, penculikan, tabrakan, sakit, semuanya), semoga bisa diberi ketabahan, tidak terlarut begitu lama dalam duka, tidak marah pada Tuhan, tidak menjadi lemah, dan pada akhirnya bisa menerima semuanya dengan ikhlas. Amiin..

~ Mona Luthfina