26.3.09

Not My Ordinary Home


Ini pemandangan setiap paginya dari rumah ibu dan bapak di Baleendah. Ah, rumah yang penuh berkah karena suara anak-anak yang mengaji. Gak setiap orang bisa dapat rumah dengan pemandangan dan berkah yang berlimpah seperti itu. Untuk itu, aku bersyukur bahwa kedua orang tuaku bisa mendapatkan kebahagiaan itu dari Allah. Hmm..

~ Mona Luthfina

P. S. Picture taken by me (26.03.2009)

25.3.09

Kecewaaaaaa...!!!!!

Kecewa dan sebel berat ama semua bioskop di Bandung yang cuma bisa nampilin film-film horor atau bokep ajah...

HUH!!!!!!!! Resolusiku terancam batal nih!!

~ Mona Luthfina

22.3.09

Details in the Fabric ~ Jason Mraz ft. James Morrisson

Calm down, deep breaths
And get yourself dressed
Instead of running around
And pulling on your threads
And breaking yourself up

If it's a broken part, replace it
If it's a broken arm, then brace it
If it's a broken heart, then face it

And hold your own, know your name
And go your own way.
Hold your own, know your name
And go your own way.
And everything, will be fine.

Hang on, help is on the way
And stay strong, I'm doing everything

Hold your own, know your name
And go your own way.
Hold your own, know your name
And go your own way.
And everything,
Everything will be fine
Everything...

All the details in the fabric
All the things that make you panic
All your thoughts, results of static cling
All the things that make you blow
Ain't no reason, go on and scream
If you're shocked,
It's just the fault of faulty manufacturing
Everything, will be fine
Everything, in time
Everything...

Hold your own, know your name
And go your own way.
Hold your own,
(all the details in the fabric)
Know your name
(all the things that make you panic)
And go your own way
(all your thoughts, results of static cling)

Hold your own,
(all the details in the fabric)
Know your name
(all the things that make you panic)
And go your own way
(is it mother nature's sewing machine?)

Hold your own,
(all the things that make you blow)
Know your name
(ain't no reason, go on and scream)
And go your own way.
(if you're shocked, it's just the fault of faulty manufacturing)

Everything, will be fine
Everything, in no time at all
Hearts will hold...


~ Mona Luthfina dududu..

21.3.09

Tetanggaku, Bude..

Sudah 19 tahun kira-kira aku dan keluargaku tinggal di rumah ini [daerah Pasteur]. Tetangga pertama kami adalah sepasang suami istri pemilik salon di seberang rumah, nama salonnya adalah salon Irma. Bapak Ibu memanggil mereka Pakde dan Bude. Aku pun ikut memanggil Pakde dan Bude. Karena aku tidak tahu nama Bude, aku berpikir namanya adalah Bude Irma, sesuai nama salonnya. Ternyata bukan, namanya adalah Bude Tatin (aku pun baru tahu kira-kira pas SMA). Oia, aku tinggal di sini sejak umur 4.5 tahun kira-kira.

Kalau ada yang bilang tetangga adalah keluarga tanpa ikatan darah, aku sangat setuju. Pakde Bude ini sudah melebihi tetangga, sudah kami anggap keluarga sendiri. Mereka tahu aku dan adek sejak kecil banget, mereka yang turut membesarkan kami. Tidak terhitung semua kebaikan yang mereka berikan kepada kami. Terutama Bude.

Bude sudah melakukan banyak hal untuk kami. Mulai dari potong rambut dari aku mulai kecil (salon langganan aku dan Ibu), bikinin ketupat setiap lebaran setiap tahun, dititipin bayar PLN, PDAM, Telkom (sebelum aku mengelolanya sendiri), dititipin rumah pas rumah kosong setiap harinya (kondisi ini sampai berbulan-bulan karena gak ada pembantu di rumah), yang langsung nelepon pas rumah ada maling, yang sukarela ngasih gula, bawang, atau cabe pas di rumah keabisan dan belum sempet ke pasar, yang nyariin tukang sampah, yang dengan sukarela ngeberesin taman depan rumah tanpa diminta (dan membuat aku jadi malu soalnya keliatan banget keteteran ngurus rumah), yang rumahnya setiap hari jadi tempat adek nunggu jemputan pas SD dan SMA, yang dititipin surat sama Pak Pos pas rumah lagi kosong, yang setiap hari nyapa aku dan manggilin ojek setiap mau kerja.. Kebaikan Bude dan Pakde tidak hanya terhadap kami tapi terhadap semua tetangga. Bahkan pada para pekerja perbaikan jalan, Bude tidak segan-segan membuatkan kopi hangat di malam hari hujan rintik-rintik.

Udah gak keitung lagi apa yang diberikan Bude sama kami, terutama aku dan adek. Bude telah menjadi keseharian kami. Hampir setiap pagi aku ketemu Bude, baik itu saat mau sekolah, kuliah sampai sekarang aku udah kerja. Bude Pakde dengan yang selalu tampak sehat (Pakde udah 80 tahun, Bude 73 tahun kira-kira, tapi penampilannya kayak umur 60 tahunan.. sehat banget..) mengalahkan kami yang muda-muda.

Lalu, ketika tadi jam 4 pagi aku ditelepon bahwa Bude sudah berpulang ke Rahmatullah, wajar yang muncul pertama adalah ketidakpercayaan, kemudian adalah penyesalan, setelah itu adalah kehilangan. Ketidakpercayaan karena aku selalu berpikir Pakde Bude adalah orang-orang yang sehat dan akan berumur panjang, penyesalan karena aku merasa belum pernah menengok Bude (yang memang baru saja masuk rumah sakit) karena kesibukanku dan seringnya aku keluar kota atau pulang malam, terakhir cuma bisa berbicara lewat telepon waktu hari Senin yang lalu, kemudian kehilangan karena jelas, Bude itu sudah ada di keseharian kami. Ketika sesuatu yang telah menjadi keseharian dan terbiasa akan itu lalu hilang, jelas rasa kehilangannya bisa lebih besar mungkin jika dibanding yang insidentil (ok, aku muter-muter jelasinnya..).

Ah... tak ada lagi yang menyapaku di pagi hari dan bilang, "Hati-hati." atau yang berpesan ama tukang ojek, "Ati-ati mawa motorna, ieu cucu nini.." (hati-hati bawa motornya, ini cucu nenek). Tak ada lagi yang siap kapan pun diminta potong rambut, atau tak ada lagi yang siap untuk membuat ketupat dalam porsi banyak di waktu yang sangat singkat.

Selamat jalan Bude, kebaikan-kebaikan dan cerewetnya Bude (hehehe..) pasti akan selalu kami kenang. Semoga Allah menerima semua amal ibadah Bude. Serta semoga Pakde, anak-anak, cucu, dan cicit Bude diberi kesabaran dan ketabahan.. Amiinn...

~ Mona Luthfina yang merasa bahwa tetangga seperti Bude gak ada gantinya..

17.3.09

Beyond Happy

Aku adalah sahabat yang akan sangat bahagia jika sahabatnya bahagia dan akan mengekspresikan kebahagiaannya lebih besar bahkan daripada si sahabat mengekspresikan kebahagiaannya..

Ah.. I am beyond happy just because u are too..

Senangnya...

~ Mona Luthfina berteriak, "horeeeeeeeeeeee...."

Kepala Berasap

Saking senggangnya setelah pulang dari perjalanan kemarin (dan karena baru besok ada kerjaan lagi), majalah-majalah di kantor kubacain semua..

SWA, Tempo, Trust, InfoBank, BusinessWeek, Warta Ekonomi.. (yeah, what do you expect.. majalah yang ada di kantor ya jelas majalah begini semua.. hehe)

Haaaaa... kepalaku berasap kebanyakan kosakata yang sebagian harus sambil mengerutkan kening bacanya.. hoho.. Belum buku yang lagi aku bawa hari ini buku liputan Kompas yang Ekspedisi Anyer - Panaroekan.. Trus ditambah sarapan pagi diiringi Kompas 4 hari (dari Jumat - Selasa)..

Bukannya lagi pengen sok keliatan pinter.. tapi emang lagi pengen menambah wawasan dan makin pinter.. hehehe.. Ternyata curiosity sometimes very demanding.. haha..

Dan hasilnya adalah.. nuuuuuuuuuutttttt... wussssssssss.... asap mulai keluar dari kepalaku..

Aku butuh komik dan serial komedi.. Nanti malem nonton Desperate Housewives aja ah..

~ Mona Luthfina

16.3.09

Sky Lover.. or.. Skyholic? Hmm..

I love the sky.. I always do.. since I don't know..
but I'm 100% sure that I do love the sky..
Ini langit di Pacitan (14.03.2009), picture taken by me, the sky lover..
Aku suka foto-foto langit, apalagi dengan pohon..
Pohon berlatar langit itu ugh.. breathtaking..

~ Mona Luthfina the skyholic..

Ketika yang Haram menjadi Wajar dan Harus

Karena tugas, aku berkesempatan untuk menemui beberapa pengusaha dengan gayanya masing-masing. Secara gamblang aku diperlihatkan seperti apa pada umumnya pengusaha di Indonesia. Yang gamblang itu yang membuatku miris.

Di Indonesia itu sudah lumrah bahwa seorang pengusaha ketika dia sedang memulai usaha baru, berusaha untuk memberikan "sesuatu" kepada siapapun yang terkait dengan usahanya. Entahlah itu penguasa daerahnya atau orang-orang yang dia anggap bisa membantu melancarkan usahanya. Bentuknya macam-macam. Umumnya sih dalam bentuk amplop tebal, kadang pula kotak yang berisi jam tangan, ada yang berusaha membayari hotel, atau memaksa untuk memberikan oleh-oleh. Ada yang memaksa, ada pula yang mundur teratur ketika dibilang "Tidak."

Miris.. Haruskah seperti itu jika ingin menjadi pengusaha di Indonesia? Sedihnya lagi, semua praktek sogok-menyogok, suap-menyuap itu didukung oleh penguasa daerah (baca: pemerintah setempat) dan hal ini menjadi hal yang lumrah. Gak masuk logikaku kemana-mana, bukannya hal yang kayak gini haram ya? Kok malah jadi biasa dan wajar, dan saking wajarnya malah jadi keharusan. Apa susah ya menjadi pengusaha yang bermain jujur di Indonesia?

Dan ternyata hal semacam ini tidak cuma untuk membuat suatu usaha saja, tapi hampir di semua aspek kehidupan di Indonesia pasti ada aja yang kayak gini. Misal, mau mencalonkan diri jadi gubernur, harus bayar dulu. Mau jadi caleg, bayar dulu. Membayar sesuatu yang entah itu apa. Tidak hanya yang tua, yang muda pun sekarang begitu, karena Bapak Ibunya (yang diajarkan oleh Bapak Ibunya juga) mengajarkan seperti itu.

Gak usah yang besar, yang kecil-kecil aja di sekitar kita. Buat KTP, buat SIM, ngurus izin di kelurahan, dan berbagai macam urusan lainnya. Ketika kita ingin hidup dengan bersih, lingkungan tidak mendukung, lalu apa yang harus kita lakukan? Tetap bergeming dan terus hidup bersih walau lingkungan akan menyisihkan kita pada akhirnya? Atau nyebur aja ikut ke dalam lingkungan yang tak bersih itu? Ah.. bisa dipecat jadi anak oleh Ibuku.

Ngeri.. sesuatu yang haram menjadi sebuah kewajaran bahkan keharusan. Mau disimpen di mana muka kita ketika menghadap-Nya kelak?

~ Mona Luthfina yang bingung..

P.S. Semoga saja apa yang aku lihat itu memang cuma segelintir dari pengusaha-pengusaha di Indonesia. Banyak juga kok yang masih bertahan dengan prinsip kejujurannya dan semoga mereka yang dilancarkan jalannya. Amiiinn..

15.3.09

Wajah Indonesiaku di Perjalanan

Masih tentang perjalanan [kebanyakan di jalan jadi kebanyakan mikir.. Huakhahaha..]

Kemarin, 12 jam menyusuri Pulau Jawa bagian selatan, dimulai dari Pacitan sampai dengan Bandung. Melewati 4 propinsi, Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Barat. Dari keempat propinsi tersebut terlihat jelas perbedaannya. Terutama dari segi fisik, infrastruktur.

Khas dari kota/kabupaten di Jawa, ada alun-alun yang di setiap sisinya terdiri dari kantor pemerintahan, pusat perdagangan, dan masjid agung. Sangat khas. Selain wajah kota/kabupaten dari segi infrastrukturnya, tergambar pula sekilas mengenai kondisi ekonominya. Ada yang setelah maghrib sudah sangat sepi, ada pula yang masih sangat ramai. Ada kota yang gampang nemu rumah makan, ada juga yang kalau mau makan harus keliling-keliling kota dulu. Ada yang kotanya rapiii banget, ada juga yang renyek kayak peyek.. Bueranntakaan.. Ada yang kotanya teduh, ada juga yang gersang.. Ada yang kantor pemerintahannya mewah, ada juga yang sederhana. Ada yang infrastruktur jalannya bagus dengan jalan yang lebar-lebar, ada juga yang jalan lobang dimana-mana mana sempit pula. Ada yang rumah-rumahnya kebanyakan masih pakai bilik bambu, ada juga yang udah banyak rumah mewah. Ada yang gelap, ada pula yang terang berderang. Begitu beragamnya kota dan kabupaten ini membuatku berpikir. Segitu tak meratanyakah negeri kita?

Tak mungkin dihindari sih, cerminan wajah dari suatu kota atau kabupaten atau suatu lingkup kecil daerah seperti desa sangat bergantung pada siapa yang mengelolanya. Tapi sebegitu tak meratanyakah? Sebegitu senjangkah ekonomi antar kota/kabupaten bahkan masih dalam satu pulau, bahkan masih dalam satu propinsi, bahkan yang bersebelahan.

Ah.. gemes deh rasanya.. Tapi sekali lagi, ini cuma perasaanku yang muncul karena apa yang nampak dari luar kota/kabupaten tersebut. Mungkin di kota kecil yang sudah gelap setelah maghrib itu justru penduduknya lebih bahagia dibanding kota besar yang penuh dengan bendera partai dan spanduk-spanduk iklan di jalanan.

Yang aku suka dari para kota/kabupaten kecil (bukan yang ibukota propinsi) adalah, kerapihannya. Mungkin karena lebih kecil, sehingga lebih mudah diatur. Terlihat ada sinergi di alun-alunnya sesuai dengan fungsi alun-alun sebagai pusat kota. Sinergi yang tidak terlihat di kota besar yang penuh dengan spanduk iklan, kendaraan, mall, dan belum ditambah bendera partai yang jumlahnya jelas berkali-kali lipat dibanding di kota/kabupaten kecil (bukan daerahnya ya, kalau daerah jelas kabupaten lebih luas dibanding kota).

Hmmm..

~ Mona Luthfina berpikir tentang wajah Indonesia yang begitu beragam..

Aku Anak Kota!!!

Seminggu ini aku pergi ke Jawa Timur berkeliling-keliling karena ada kerjaan. Dari Bandung naik pesawat ke Surabaya, dilanjutkan dengan mobil ke Bojonegoro, Ngawi, Madiun, Ponorogo, Trenggalek, dan terakhir di Pacitan. Setelah dari Pacitan, pulang lagi ke Bandung (naik mobil).

Sepanjang perjalanan, aku melewati banyak pematang sawah, gunung, pepohonan, sungai, dan tentunya langit biru jernih yang luas. Perjalanan ini banyak melewati kota-kota kecil dengan gambaran penduduknya yang terlihat di sana. Rumah-rumah yang sederhana, masjid atau mushalla yang penuh saat jam shalat, toko-toko yang tutup setelah maghrib, anak-anak yang bermain di sungai, petani yang sedang mengurusi sawahnya, remaja-remaja yang bergerombol pulang dari sekolahnya, atau penduduk yang sekedar melepas lelah di warung kopi.

Pemandangan itu mencekokiku selama 5 hari penuh, sangat jauh berbeda keadaannya dengan di kota besar. Pemandangan yang membuatku bertanya, apa ya yang ada di pikiran mereka saat itu. Apa ya yang mereka pikirkan tentang hidup mereka. Apakah mereka merasa bahagia. Apakah mereka merasa cukup dengan apa yang mereka punya. Apakah mereka sudah merasa sejahtera. Banyak pertanyaan yang muncul berseliweran di otakku sepanjang perjalanan itu.

Muncul pula pertanyaan, jika aku dilahirkan di kabupaten kecil itu atau di pelosok daerah itu atau di desa itu, apakah aku akan merasa bahagia?

Aku selalu menganggap diriku adalah orang yang mudah beradaptasi, mau dilempar ke manapun, silahkan. Insya Allah bisa. Itu yang aku percaya, karena Ibu dan Bapak mendidikku seperti itu. Tapi, perjalanan itu membuatku berpikir ulang, kalau aku dilempar ke suatu desa terpencil (bahkan misalnya masih di Pulau Jawa pun) apakah aku mampu? Hmm..

Aku yang saat ini adalah anak kota luar dalam.. Walau lahir di desa, tapi besar di Kota Bandung dengan segala kemewahannya. Aku yang sekarang dimanja oleh kota yang memiliki fasilitas lengkap dengan kenyamanan yang wah. Aku mengikuti sejarah stasiun TV, aku dimanja oleh kemudahan transportasi, aku dimanja oleh internet, dimanja oleh mudahnya mendapatkan makanan hanya dengan mengeluarkan uang, dimanja dengan kemampuan untuk mengeluarkan uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dimanja dengan pendidikan, dimanja dengan kesehatan, dan segudang kemewahan dari kota kecil namun sangat canggih ini.

Aku mengenal gedung-gedung tinggi, aku mengenal bangunan tembok, aku mengenal mobil, aku mengenal handphone, aku mengenal teknologi, aku dididik dengan teknologi, aku pun belajar di institut teknologi.

Dengan semua kemewahan itu, aku menjadi tidak yakin lagi dengan diriku sendiri. Sanggupkah aku bila tiba-tiba jalan hidupku terlempar ke suatu daerah terpencil dimana segala kemewahan itu tidak ada? Hmmmm...

Hmmm...

Hmmm...

Hatiku menjadi ciut..

Ah.. Ternyata aku memang anak kota luar dalam.. Anak kota yang manja..

Tapi, manusia memiliki kemampuan adaptasi yang mengagumkan. Di suatu keadaan terdesak, untuk memenuhi kebutuhan dasar, jikalau kemewahan itu tidak ada. Seorang manusia normal pasti akan mencari jalan untuk memenuhi kebutuhannya. Jadi ya.. walaupun aku ciut saat ini dan menyatakan bahwa aku anak kota yang manja, tapi kalau emang suatu saat itu terjadi..

Hmmm...

..mungkin aku hanya bisa pasrah, tetap tersenyum lebar, berhati lapang, dan memutuskan, "Yasudahlah, kerjain aja apa yang bisa aku kerjain di depan mata."

Manusia memang makhluk yang mampu beradaptasi. Batasnya hanyalah kemauan dan tekad sepertinya. Oh iya.. dan keterpaksaan tentunya. Hehehe..

~ Mona Luthfina

P.S. Sampai hari terakhir di Jawa Timur, tetep gak nemu anak Pak Kades yang sholeh dan baik hati nih.. Huakhahahaha..

P.P.S. Aku belum dapet tugas keliling-keliling negara maju nih, kalau dapet, pasti aku bakal bertanya lagi, "Mampu gak ya, kalau aku dilempar keluar negeri, ke Perancis misalnya.. hehehe" Ada yang mau ngelempar aku keluar negeri? Dengan pekerjaan atau beasiswa yang layak tentunya, bukan jadi TKW di negeri tetangga.. Hehe..

10.3.09

Terdampar di Pesawat


Harusnya sekarang udah sampai Surabaya (pergi jam 6.05) tapi karena kabutnya tebal, landasan pacu ditutup sampai jam 8. Sekarang terdampar di pesawat, males turun.. Nerusin tidur lagi aja ah..

~ Mona Luthfina

4.3.09

Mengubah Negeri

Tadi sore, entah kenapa terlibat diskusi agak serius sama Bisri (Bisri sekarang punya blog loh). Tumben, soalnya gak pernah diskusi segitu seriusnya sama tu bocah. Hehehehe..

Dimulai dari ngebahas tentang sejarah, perang dingin, proxy war, sistem pemerintahan yang ok dan cocok buat Indonesia, perbandingan antara negara-negara sosialis, ngomongin dari mana kita harus mulai jika ingin mengubah Indonesia, industri pangan dan peternakan, kesejahteraan sosial, dan negara yang makmur dan sejahtera. Ok, saat aku menulis ini pun aku baru sadar, selama kita chatting tadi sore, kita bener-bener diskusi. Hohohoho.. tumben, Bis.. But it was a good talk though..

Semua topik diskusi tadi sore menarik terutama karena pertanyaan “Dimulai dari mana kalau ingin mengubah Indonesia?” ini lagi sering muncul di kepalaku. Khusus untuk kesejahteraan sosial, agak-agak pengen membahas lebih lanjut.

Pengelolaan kesejahteraan negara ada dua model pendekatannya.

  1. Model pertama, perhatian utama negara difokuskan pada bagaimana mengalihkan sumber daya kepada masyarakat yang paling membutuhkan. Ini seperti yang dilakukan di Amerika Serikat dan ditiru oleh negara kita. Jadi, negara fokus untuk mensejahterakan warga negara yang membutuhkan saja. Di Indonesia, dikhususkan terutama untuk warga negara yang memiliki masalah-masalah sosial, yaitu: kemiskinan, keterlantaran, kecacatan, keterpencilan, ketunasosialan, korban bencana, dan/atau korban tindak kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi (diatur oleh UU No. 11 Tahun 2009 yang baru diresmikan dan memantapkan posisi Departemen Sosial sebagai pelaksana penyelenggaraan kesejahteraan sosial).
  2. Model kedua, negara mendistribusikan kesejahteraan, dengan sedikit interferensi birokrasi sesedikit mungkin, kepada semua masyarakat yang memenuhi kriteria-kriteria yang berhak mendapatkan distribusi. Model ini banyak dilakukan di negara-negara Skandinavia. Jadi, semua warga negara baik itu terkena masalah sosial maupun tidak, mendapatkan pelayanan kesejahteraan yang sama porsinya dari pemerintah.

Nah, ingat Pembukaan UUD 1945?

“Pembentukan pemerintahan negara Indonesia didasari untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.”

Kalau dibaca di kalimat “memanjukan kesejahteraan umum” sih bisa diartikan bahwa penyelenggaraan kesejahteraan umum di Indonesia itu ditujukan kepada semua warga negara Indonesia. Iya gak sih?

Sementara itu, negara ini saat ini masih berkutat di dunia kapitalisme dan tunduk pada sistem yang memang memperkaya dan menambah pundi-pundi negara tapi tidak mensejahterakan rakyatnya.

Eh, tapi tunggu dulu, emang sejahtera apaan?

Sejahtera kalau kata Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah aman, sentosa dan makmur; selamat (aman dari segala gangguan). Padanan kata ‘sejahtera’ dalam Bahasa Inggris adalah ‘welfare’ yang berdasarkan Webster English Dictionary didefinisikan sebagai ”A contented state of being happy and healthy and prosperous”, adalah keadaan yang diisi oleh kebahagiaan, kesehatan dan kemakmuran. Setiap manusia pada dasarnya berusaha mencapai taraf kesejahteraan yang tinggi dan itu jelas merupakan hal yang wajar.

Apakah kita yang saat ini bisa dikatakan sebagai seseorang yang sejahtera? Apakah negara kita saat ini bisa dikatakan sebagai negara yang sejahtera? Kalau dilihat secara umum, definisi, tujuan negara, dan pelaksanaannya, jelas belum. Lalu, bagaimana dan mulai dari mana kita harus mengubahnya?

Nah, itulah.. kembali pada diskusi (yang belum selesai ya, Bis). Sistem yang ada saat ini sudah seperti lingkaran setan yang kalau kita mau masuk dari mana pun pasti terjerat. Ah.. Banyak pendapat yang masih belum sesuara tentang hal ini, kalau Bisri bilang dimulai dari industri pangan/pertaniannya, kalau aku berpendapat dimulai dari anak-anak dan generasi mudanya, alias sistem pendidikannya, ada lagi teman yang berpendapat kalau harus dilakukan secara serempak dari berbagai macam aspek. Bisa jadi debat kusir (kenapa sih istilahnya debat kusir, bukan debat supir gitu?).. hehehe..

Mau dibahas sepanjang, senjlimet, dan selama apapun, tetap belum ada solusi konkret yang bisa aku beri untuk negeri dan bangsaku ini. Aku masih tetap kukuh dimulai dari anak-anak dan generasi mudanya, dan kalau ditanya secara spesifik, aku akan menjawab, dimulai dari bacaannya. Karena yang aku tahu adalah buku.

Ah.. mungkin itu jawabannya, dari pertanyaan “Dimulai dari mana kalau ingin mengubah Indonesia?”. Mulailah dari apa yang kita tahu dan apa yang kita yakini itu benar. Dengan kerja keras, keyakinan, dan do’a, mungkin.. ah.. bukan.. pasti negeri ini akan berubah ke arah yang lebih baik. Seperti banyak orang bijak berkata, mulailah dari dirimu sendiri.

Hmmm.. agak campur aduk bahasannya, ah.. tapi aku menulis apa yang memang sedang aku pikirkan saat itu, lagipula ini blogku sendiri. Huakhahaha.. mulai gak jelas..

Yasudahlah..


~ Mona Luthfina yang (tumben) sedang berpikir tentang negaranya

P.S. Thanks for the conversation, Bis.. Gw tunggu part 2-nyah..

3.3.09

Another Week

Hmmm... minggu yang sibuk, sampai hampir tak sempat menarik nafas dan melihat langit.. ajaja..