Makan siang hari ini aku, Restu, dan Atiek memutuskan untuk makan siang di luar. Gado-gado Tengku Angkasa. Yupe. The One and The Only. Hehe..
Tapi bukan tentang gado-gadonya yang pengen aku ceritain (toh udah banyak yang tau kalo gado-gado Tengku Angkasa emang salah satu yang paling enak. Hehe..). Aku ingin bercerita tentang obrolan kami di antara gado-gado itu..
Restu cerita, dia pengen bikin tempat penitipan anak, karena dia kasian ngeliat keponakannya yang ditinggal Ibu Bapaknya kerja. Karena obrolan ini, aku banyak teringat pada diriku sendiri yang posisinya sama seperti keponakannya Restu.
Aku besar dengan Ibu yang seorang dokter dan Bapak yang kerja di Jakarta dan pulang ke Bandung seminggu sekali (sampai tahun 2005). Aku mencoba mengingat-ingat memori masa kecilku dan aku akui di ingatanku memori tentang kedua orang tuaku tidak sebegitu kuatnya.
Aku ingat Ibu itu dokter yang sering pulang malam karena jaga dan Bapak yang pergi Selasa shubuh pulang Jumat malam setiap minggunya. Aku ingat Ibu di Lombok selama setahun pas aku kelas 6 SD, aku ingat Bapak yang setiap pulang dari Jakarta hari Jumat, selalu membawa sebungkus jeruk. Aku ingat lebih sering mengambil rapor sendiri mulai SD sampai dengan SMA dan bukan diambil oleh orang tuaku. Aku ingat pernah saat kelas 3 SD, Ibu susah sekali ngebangunin aku buat shalat shubuh, lalu ditariknya aku ke kamar mandi, diguyur sampai kuyup, dikunci dari luar karena aku gak mau shalat (yupe, this i remember.. haha).
Aku ingat Bapak tiba-tiba ngasih wejangan sebelum aku masuk SMP tentang pergaulan bebas, narkoba, dll, dll.. Aku ingat pernah nilep duit SPP pas SD dan bikin Ibu marah besar dan gak mau ngomong sama aku selama seminggu (ugh, that week, home was like hell for me..). Aku ingat pas kelas 3 SD ditantang pulang sekolah sendiri naik angkot (SD di daerah alun-alun, rumah di Pasteur, 45 menit naik angkot kira-kira..). Aku ingat setiap aku berantem sama adek, selalu aku yang kena marah, tanpa melihat siapa yang salah. Aku ingat Bapak yang jarang marah trus marah sama aku pas aku kelas 2 SD karena aku bilang, "Mb Mona gak mau belajar matematika, mending bunuh diri aja daripada belajar matematika." (what was I thinking!?!? such a drama queen... sinetron banget.. wajar kalau Bapak sampai marah sih.. hehe..).
Setelah aku pikir-pikir, aku gak begitu ingat kapan beli mainan sama Ibu, atau apa Ibu pernah bikinin aku bekal (kalo ini sih, jelas gak pernah.. Hehe..). Aku gak ingat kapan aku jalan-jalan sama Bapak atau sekolah diantar Bapak atau Ibu. Aku sama sekali tidak pernah ingat kapan Bapak Ibu memanjakan aku, atau kapan Ibu Bapak membelaku saat berantem sama adek pas kecil. Nope, tidak pernah, dan mungkin tidak pernah terjadi juga.
Pada saat itu (waktu kecil), tidak banyak anak yang kedua orang tuanya bekerja. Seandainya ada pun, tidak banyak pula yang punya orang tua seperti aku, Ibu dokter dengan kesibukan tingkat tinggi dan Bapak yang kerja di luar kota. Waktu yang aku miliki dengan orang tuaku saat aku kecil, tidak sebanyak waktu anak-anak lain dengan orang tua mereka. Tapi, apakah aku iri dengan anak lain yang dimasakin bekal sama ibunya, diantar sekolah oleh ayahnya, atau dibelikan mainan dan diajak jalan-jalan pas akhir pekan? Entah kenapa, gak ada iri.. Dari kecil aku sudah merasa, "Yah, aku memang memiliki orang tua yang beda..". Seperti dipaksa dewasa lebih cepat. Huakhahahaha...
Lalu, apakah anak-anak dengan orang tua yang bekerja menjadi tidak lebih baik dari anak yang orang tuanya (atau Ibunya) di rumah? Tidak juga...
Ya memang pada akhirnya tidak banyak memori masa kecilku dengan Ibu Bapakku yang nampak menyenangkan. Semua memori sepertinya berkisar di hukuman, pendidikan, agama, dan buku. Tapi mungkin karena yang akhirnya aku ingat dari mereka (Ibu dan Bapak) ya itu semua.. dan sedikit banyak (banyak sih sebenernya) itulah yang membentuk aku menjadi seperti ini. Terlepas apakah aku ini didikan yang sukses atau gak, itu kan relatif ya.. Hehehe..
Kita bisa menilai suatu keberhasilan kan dilihat dari hasilnya ya.. Aku adalah hasil didikan Ibu Bapakku dan aku bisa bilang, ya mereka cukup berhasil dengan aku. Paling tidak, aku tidak terjerat pergaulan bebas (amiiiin), masih shalat (amiinn..), tidak terkena narkoba (amiiinn..), bisa jadi kakak yang baik (iya kan dek... harus iya!! Hehe..), dan mudah-mudahan adalah anak yang shalehah (amiiiiiiiiinnnnn...).
Jadi, kalau ada yang bilang kalau anak dari orang tua yang bekerja itu bakal jadi anak yang entah deh kayak apa, berarti dia belum kenal aku. Huakhahahahaha.... Pede abiisss..
Aku belajar dari kedua orang tuaku, bahwa mereka bisa berhasil dalam keluarga ini adalah karena pondasi yang kuat (agama), prinsip yang selalu dipegang, dan komunikasi yang lancar. Kayaknya sih gitu..
Ah, panjang sekali postinganku hari ini..
~ Mona Luthfina
mon, komenin postingan ku yang ini ya, tolong ^^
ReplyDeletehttp://melurs.blogspot.com/2009/04/paspor-ke-belanda.html
then u become great girl, with great parents...
ReplyDeleteyes, i do envy u :)